Pernah dengar suara misterius atau melihat bayangan aneh? Ini dia 7 kisah horor nyata dari berbagai orang yang pengalaman seramnya dijamin bikin kamu cek kolong kasur sebelum tidur! Siap-siap, ya!
1. Bisikan di Dinding Kamar Kos (Kisah Diana)
Diana, seorang mahasiswi baru di kota besar, memutuskan untuk ngekos di sebuah rumah tua dekat kampusnya. Awalnya semua baik-baik saja, bahkan terasa nyaman. Kamarnya lumayan luas, jendelanya menghadap taman kecil yang rimbun, dan harga sewanya sangat terjangkau. Terlalu terjangkau, mungkin. Malam-malam pertama di sana, Diana sering mendengar bisikan samar dari dinding kamarnya. Awalnya ia mengira itu suara penghuni kos lain, mungkin sedang mengobrol atau menonton TV. Tapi bisikan itu selalu terdengar seperti desahan panjang, kadang diselingi gumaman tak jelas. Semakin malam, bisikan itu semakin jelas, seolah ada seseorang yang sedang berbicara tepat di balik dinding.
Suatu malam, Diana terbangun karena bisikan itu terdengar seperti namanya dipanggil, "Di-a-na..." Suaranya pelan, serak, tapi jelas. Jantung Diana berdebar kencang. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa ia hanya berhalusinasi atau terlalu lelah. Ia memejamkan mata erat-erat, berharap suara itu menghilang. Namun, kali ini bisikan itu disertai ketukan pelan dari dinding yang sama. Bukan ketukan pintu, tapi ketukan di dinding kamar persis di samping kepalanya. Satu... dua... tiga ketukan ritmis yang makin lama makin cepat. Keringat dingin mulai membanjiri tubuh Diana. Ia meraih ponselnya dan menyalakan senter, menyinari seluruh sudut ruangan. Tidak ada apa-apa. Dinding tampak kokoh dan kosong.
Keesokan harinya, Diana bercerita kepada ibu kosnya. Ibu kos hanya tersenyum tipis dan berkata, "Oh, itu... mungkin cuma angin." Jawaban yang kurang meyakinkan. Malam berikutnya, kejadian itu terulang. Bisikan dan ketukan semakin intens. Kali ini, Diana berani mendekatkan telinganya ke dinding. Ia bisa mendengar suara napas berat dan erangan pelan, seolah ada seseorang yang sedang kesakitan di balik dinding. Rasa takut berubah menjadi rasa penasaran yang mencekam. Diana akhirnya nekat bertanya kepada penghuni kos lama. Seorang mahasiswi senior bernama Maya, yang sudah empat tahun ngekos di sana, memberanikan diri menceritakan sebuah rahasia.
Ternyata, kamar yang ditempati Diana dulunya adalah kamar seorang penghuni kos yang meninggal mendadak di sana beberapa tahun lalu. Ia meninggal karena sakit parah dan seringkali mengerang kesakitan di malam hari. Konon, arwahnya masih betah bersemayam di kamar itu, mencari teman. Maya menyarankan Diana untuk pindah kamar atau jika tidak bisa, mencoba berkomunikasi dengan arwah tersebut. Malam itu, Diana memutuskan untuk tidak lari. Dengan gemetar, ia berbisik ke dinding, "Siapa di sana? Apa yang kamu inginkan?" Ketukan di dinding berhenti. Bisikan pun mereda. Namun, Diana merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, seolah ada sesuatu yang berdiri tepat di belakangnya. Ia tidak berani menoleh. Sejak saat itu, Diana sering mendengar bisikan dan ketukan, tapi tidak lagi memanggil namanya. Ia belajar hidup berdampingan dengan "penghuni" tak kasat mata itu, meskipun kadang bulu kuduknya masih sering merinding sendiri.
2. Sosok Wanita di Lorong Gelap (Kisah Rian)
Rian adalah seorang fotografer lepas yang sering pulang larut malam setelah menyelesaikan pekerjaannya. Apartemennya berada di lantai 10, dan kadang ia harus menggunakan tangga darurat jika lift sedang ramai atau rusak. Suatu malam, sekitar pukul dua pagi, Rian baru saja selesai pemotretan di luar kota dan langsung pulang ke apartemennya. Ia merasa sangat lelah dan memilih menggunakan tangga darurat karena lift sedang diperbaiki. Lorong tangga darurat di apartemennya memang terkenal gelap dan jarang dilewati orang, kecuali dalam keadaan darurat. Pencahayaan seadanya, hanya ada beberapa lampu yang remang-remang di setiap lantai.
Saat Rian menuruni tangga dari lantai 10 menuju lantai 9, ia merasakan hawa dingin yang menusuk, padahal malam itu cuaca tidak terlalu dingin. Bulu kuduknya merinding. Ia mempercepat langkahnya. Tiba-tiba, dari ujung lorong lantai 8 yang gelap gulita, Rian melihat siluet seorang wanita berdiri membelakanginya. Wanita itu tampak mengenakan gaun putih panjang yang lusuh. Rambutnya panjang terurai hingga menutupi punggungnya. Rian menghentikan langkahnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia mengira itu salah satu penghuni apartemen yang mungkin sedang mencari sesuatu, meskipun agak aneh berada di lorong tangga darurat selarut itu.
"Mbak?" panggil Rian pelan, suaranya sedikit bergetar. Wanita itu tidak bergerak. "Mbak, butuh bantuan?" tanya Rian lagi, mencoba mendekat satu langkah. Wanita itu tetap diam, mematung di kegelapan. Rian merasa ada yang tidak beres. Tidak ada suara napas, tidak ada gerakan sedikit pun, seolah-olah wanita itu hanya sebuah patung. Dengan keberanian yang tersisa, Rian menyalakan senter di ponselnya dan mengarahkannya ke wanita itu. Cahaya senter menembus kegelapan, dan apa yang dilihat Rian membuat darahnya seolah berhenti mengalir. Wanita itu tidak memiliki kaki. Gaun putihnya seolah melayang beberapa sentimeter di atas lantai. Dan perlahan, kepala wanita itu berputar 180 derajat ke belakang, menatap Rian dengan mata hitam legam tanpa pupil. Wajahnya pucat pasi, dan bibirnya membentuk senyuman mengerikan yang terlalu lebar.
Rian menjerit tertahan dan langsung berlari sekencang-kencangnya menuruni tangga, tidak peduli seberapa lelahnya dia. Ia terus berlari sampai tiba di lantai dasar, menabrak pintu keluar, dan lari ke pos satpam. Satpam yang terkejut melihat Rian pucat pasi dan berkeringat dingin langsung menanyakan apa yang terjadi. Rian terbata-bata menceritakan apa yang ia lihat. Satpam hanya menghela napas panjang dan berkata, "Oh, itu... sudah sering terjadi. Memang ada penampakan di tangga darurat itu. Katanya, itu arwah seorang wanita yang bunuh diri di lantai 8 beberapa tahun lalu." Sejak malam itu, Rian tidak pernah lagi berani menggunakan tangga darurat di apartemennya, tidak peduli seberapa rusak liftnya atau seberapa ramai pun. Ia lebih memilih menunggu berjam-jam daripada harus bertemu kembali dengan sosok wanita di lorong gelap itu.
3. Lagu Nenek di Tengah Hutan (Kisah Sari)
Sari dan teman-temannya sedang dalam perjalanan pulang dari camping di sebuah gunung. Rute yang mereka ambil adalah jalan pintas melewati hutan lebat yang sebenarnya jarang dilalui kendaraan, apalagi di malam hari. Hari sudah sangat larut, sekitar pukul sebelas malam, dan suasana di dalam mobil terasa sunyi, hanya terdengar suara radio yang memutar lagu pop lawas. Tiba-tiba, saat mereka melewati sebuah area hutan yang sangat gelap dan rimbun, radio di mobil Sari mati mendadak. Suasana menjadi hening mencekam. Mesin mobil pun terasa sedikit tersendat.
"Yah, kok mati sih?" keluh Kevin, salah satu teman Sari. "Iya nih, aneh banget," sahut Sari sambil mencoba menyalakan kembali radio, tapi tidak berhasil.
Saat itulah, mereka semua mendengar suara. Sebuah nyanyian. Suaranya terdengar tua, serak, dan melengking, seperti suara seorang nenek-nenek. Nyanyian itu terdengar seperti lagu anak-anak zaman dulu, sebuah lagu tidur yang sangat klasik, namun dinyanyikan dengan nada yang agak melenceng dan terdengar sangat menyeramkan di tengah keheningan hutan yang pekat. Lagu itu terdengar sangat dekat, seolah-olah si nenek sedang berdiri tepat di samping mobil mereka. Sari dan teman-temannya saling pandang, wajah mereka pucat pasi.
"Dengar tidak?" bisik Fajar, mata terbelalak. "Dengar," jawab Sari dengan suara gemetar. "Itu... siapa yang nyanyi di hutan selarut ini?" tanya Kevin, suaranya bergetar.
Lagu itu terus berlanjut, semakin jelas, seolah nenek itu mengikuti laju mobil mereka. Sari mencoba mempercepat laju mobil, tapi mesinnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menahannya. Jendela mobil tertutup rapat, tapi nyanyian itu seolah menembus kaca, memenuhi seluruh kabin mobil. Mereka semua diam, ketakutan luar biasa. Tidak ada yang berani berbicara, apalagi menoleh ke arah jendela. Mereka hanya menatap lurus ke depan, berharap segera keluar dari hutan.
Tiba-tiba, nyanyian itu berhenti. Keheningan kembali melanda. Tapi kali ini, keheningan itu lebih mencekam daripada sebelumnya. Beberapa detik kemudian, dari spion tengah, Sari melihatnya. Sebuah siluet putih samar, seperti sosok seorang nenek dengan rambut putih panjang, sedang berdiri di tengah jalan, tepat di belakang mobil mereka. Sosok itu tampak tersenyum lebar, dan di tangannya ada sebuah boneka kain lusuh. Sari menjerit, dan langsung menginjak gas dalam-dalam. Mobil melaju kencang, meninggalkan hutan gelap itu.
Mereka baru bisa bernapas lega setelah keluar dari area hutan dan sampai di jalan raya yang terang. Radio mobil kembali menyala dengan sendirinya, memutar lagu yang sama yang tadi terhenti. Tapi tidak ada yang berani mendengarkan lagu itu sampai selesai. Sejak kejadian itu, Sari dan teman-temannya tidak pernah lagi berani melewati jalan pintas hutan tersebut di malam hari. Mereka selalu mengambil jalan memutar yang lebih jauh, demi menghindari nyanyian nenek di tengah hutan yang menyeramkan itu.
4. Boneka Berpindah Sendiri (Kisah Danu)
Danu adalah seorang kolektor barang antik, termasuk boneka. Di antara koleksinya, ada satu boneka porselen tua yang ia dapatkan dari pelelangan. Boneka itu tampak cantik dengan gaun renda usang dan mata biru yang bening, namun memiliki aura yang agak menyeramkan. Danu menempatkan boneka itu di rak khusus di ruang tamunya, bersama koleksi boneka lainnya. Awalnya tidak ada yang aneh.
Namun, beberapa minggu setelah boneka itu berada di rumah Danu, ia mulai merasakan kejanggalan. Setiap pagi, saat Danu turun ke ruang tamu, ia sering menemukan boneka porselen itu berpindah posisi. Kadang kepalanya sedikit menoleh ke arah pintu, kadang tangannya sedikit bergeser, bahkan suatu kali ia menemukan boneka itu duduk di kursi tamu, padahal semalam ia meletakkannya di rak. Danu mencoba bersikap rasional. Ia mengira mungkin kucing peliharaannya, Miko, yang memindahkannya, atau mungkin ia sendiri yang lupa posisinya. Namun, Miko tidak pernah naik ke rak setinggi itu, dan Danu yakin ia selalu meletakkan boneka itu di posisi yang sama.
Kejadian berpindahnya boneka itu semakin sering terjadi. Tidak hanya berpindah posisi, tapi juga seperti bergerak secara aktif. Suatu malam, Danu sedang membaca buku di ruang tamu. Boneka porselen itu berada di rak, seperti biasa. Tiba-tiba, ia mendengar suara decitan halus. Ia mengangkat kepalanya dan melihat boneka itu. Perlahan, sangat perlahan, kepala boneka itu berputar ke arah Danu. Mata birunya yang bening seolah menatap langsung ke matanya. Danu terpaku, tidak bisa bergerak. Ia mengira ia hanya kelelahan dan berhalusinasi.
Tapi kemudian, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi. Salah satu tangan boneka itu terangkat, dan jari-jarinya yang ramping seperti mencoba menggapai udara. Danu merasakan hawa dingin yang menusuk. Ia langsung berdiri, menjauh dari rak, dan mencoba menenangkan dirinya. Ia memutuskan untuk meletakkan boneka itu di dalam lemari kaca yang terkunci, berharap itu akan menghentikan kejadian aneh ini.
Keesokan harinya, Danu membuka lemari kaca. Boneka itu ada di sana, di posisi yang sama saat ia meletakkannya. Danu merasa lega. Namun, saat ia berbalik untuk pergi, ia mendengar suara ketukan pelan dari dalam lemari kaca. Ketukan itu terdengar seperti jari-jari porselen yang mengetuk kaca. Danu menoleh lagi. Boneka itu masih di sana, diam. Tapi di balik kaca lemari, tampak sebuah embun tipis terbentuk, seolah ada napas yang mengembun di sana. Dan di embun itu, terbentuk sebuah tulisan: "Keluarkan aku."
Danu panik. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia mencoba mengabaikannya, tapi setiap malam ia mendengar suara ketukan dari lemari kaca, dan setiap pagi, ada tulisan baru yang berbeda. Ada kalanya tulisan itu berisi ancaman, ada kalanya berisi permohonan. Akhirnya, Danu tidak tahan lagi. Ia memutuskan untuk menjual boneka itu kepada seorang kolektor lain yang tertarik dengan barang-barang berhantu. Danu tidak pernah bertanya apa yang terjadi pada boneka itu setelah berpindah tangan. Ia hanya tahu, sejak boneka itu pergi, rumahnya terasa jauh lebih tenang dan damai.
5. Suara Tawa di Rumah Kosong (Kisah Gita)
Gita adalah seorang mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhirnya dan seringkali harus menginap di rumah orang tuanya yang sedang pergi keluar kota. Rumah itu sudah cukup tua dan seringkali terasa sunyi dan dingin di malam hari, apalagi jika hanya Gita sendiri yang tinggal di sana. Malam itu, Gita sedang asyik mengetik di laptopnya di ruang tengah. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Tiba-tiba, ia mendengar suara. Suara tawa. Tawa anak kecil yang melengking dan riang.
Gita langsung menegang. Ia yakin tidak ada siapa-siapa di rumah selain dirinya. Orang tuanya masih di luar kota, dan rumah itu memang kosong. Ia mematikan musik di laptopnya dan mencoba mendengarkan dengan saksama. Tawa itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, seolah-olah berasal dari dapur. Jantung Gita berdebar kencang. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya suara dari tetangga sebelah, atau mungkin dari televisi yang tidak sengaja menyala. Tapi tidak, tawa itu terlalu dekat, dan tidak ada suara lain yang menyertainya.
Dengan rasa takut yang luar biasa, Gita memberanikan diri berjalan perlahan menuju dapur. Ia menyalakan senter di ponselnya. Dapur tampak gelap dan sunyi. Tidak ada siapa-siapa. Gita merasa lega, mengira ia hanya salah dengar. Saat ia berbalik untuk kembali ke ruang tengah, tawa itu meledak lagi, kali ini tepat di belakangnya, seolah ada anak kecil yang sedang berdiri tepat di samping telinganya. Tawa itu bukan tawa yang menggemaskan, melainkan tawa yang menyeramkan, penuh dengan nada ejekan.
Gita menjerit histeris dan langsung berlari sekencang-kencangnya keluar dari dapur, menuju kamarnya. Ia mengunci pintu, menyalakan semua lampu di kamar, dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia mencoba menelepon temannya, tapi tangannya terlalu gemetar untuk menekan tombol. Ia hanya bisa menangis ketakutan. Beberapa saat kemudian, suara tawa itu terdengar lagi. Kali ini dari luar kamar Gita, di lorong. Tawa itu bergerak, seolah ada sesuatu yang berlari-lari di lorong. Kadang terdengar mendekat ke pintu kamarnya, kadang menjauh.
Gita semakin panik. Ia mendengar suara langkah kaki kecil yang berlarian, dan sesekali tawa anak kecil itu terdengar seperti berbisik-bisik di balik pintu. Ia tidak bisa tidur semalaman. Ia hanya meringkuk ketakutan di bawah selimut, menunggu pagi tiba. Saat fajar menyingsing, dan cahaya matahari mulai masuk melalui celah gorden, suara tawa itu menghilang. Gita memberanikan diri keluar dari kamarnya. Rumah terasa normal kembali, tapi ia masih merasakan hawa dingin dan ketakutan yang mencekam.
Ketika orang tuanya pulang, Gita menceritakan semua yang ia alami. Ibunya hanya menghela napas panjang. Ternyata, rumah itu dulunya adalah rumah keluarga yang memiliki seorang anak kecil. Anak itu meninggal karena sakit di rumah tersebut, dan konon arwahnya masih sering bermain-main di dalam rumah. Sejak saat itu, Gita tidak pernah lagi berani menginap sendirian di rumah orang tuanya. Jika harus, ia selalu mengajak teman untuk menemaninya, karena ia tidak ingin lagi mendengar suara tawa di rumah kosong itu.
6. Penumpang Tak Terlihat di Taksi (Kisah Dodi)
Dodi adalah seorang supir taksi yang sudah puluhan tahun bekerja di Jakarta. Ia sudah terbiasa dengan berbagai macam penumpang dan kejadian aneh di jalanan. Tapi suatu malam, ia mengalami kejadian yang tidak akan pernah ia lupakan. Saat itu sudah lewat tengah malam, Dodi sedang melintas di daerah Senayan yang cukup sepi. Tiba-tiba, ia melihat seorang wanita berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangan. Wanita itu mengenakan kebaya hijau tua, rambutnya digelung rapi, dan wajahnya tampak pucat.
Dodi menghentikan taksinya. Wanita itu membuka pintu belakang dan masuk. "Ke TPU Tanah Kusir, Pak," ucap wanita itu dengan suara pelan dan datar. Dodi agak terkejut, karena jarang sekali ada penumpang yang minta diantar ke kuburan selarut itu. Tapi ia adalah seorang profesional, jadi ia hanya mengangguk dan mulai melaju. Selama perjalanan, wanita itu tidak berbicara sama sekali. Dodi mencoba memecah keheningan dengan bertanya, "Malam-malam begini mau ke sana, Bu?" Wanita itu hanya diam. Dodi melirik ke spion tengah, dan ia melihat wanita itu menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Hawa dingin mulai merambat di dalam mobil, padahal AC mobil tidak terlalu dingin.
Dodi mulai merasa tidak nyaman. Ia mempercepat laju mobil. Setibanya di gerbang TPU Tanah Kusir, Dodi menoleh ke belakang. "Sudah sampai, Bu." Tapi kursi belakang kosong. Wanita itu sudah tidak ada. Pintu taksi belakang tertutup rapat. Jantung Dodi berdegup kencang. Ia mencoba memastikan, mungkin ia salah lihat. Ia mematikan mesin taksi, keluar, dan memeriksa kursi belakang. Kosong. Bahkan tidak ada bau parfum atau jejak apapun.
Dengan ketakutan yang luar biasa, Dodi langsung masuk kembali ke taksinya, menyalakan mesin, dan tancap gas secepat-cepatnya. Ia tidak peduli dengan argo yang belum dibayar. Ia hanya ingin segera pergi dari tempat itu. Saat taksinya melaju kencang meninggalkan area kuburan, Dodi melihat sesuatu di spion tengahnya. Wanita berkebaya hijau itu. Ia berdiri tepat di belakang taksinya, di tengah jalan, menatap Dodi dengan senyum tipis. Kali ini, Dodi bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajahnya sangat pucat, dengan mata cekung dan bibir merah kehitaman. Rambutnya yang rapi tadi kini tampak sedikit berantakan.
Dodi menjerit dan langsung memejamkan mata. Ia terus menginjak gas, tanpa berani melihat ke spion lagi. Ia mengendarai taksinya tanpa tujuan, terus melaju kencang, hingga ia merasa jauh dari area kuburan itu. Setelah merasa aman, Dodi menepikan taksinya dan mencoba menenangkan diri. Keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ia tidak pernah lagi mau mengambil penumpang di daerah Senayan di atas pukul 10 malam. Kejadian itu membekas dalam ingatannya, mengingatkannya bahwa ada hal-hal di luar nalar yang bisa terjadi di tengah malam.
7. Bayangan di Jendela Kamar (Kisah Bima)
Bima baru saja pindah ke rumah baru di pinggir kota. Rumah itu cukup besar dengan banyak jendela, dan halaman belakangnya lumayan luas. Ia sangat menyukai suasana tenang di sana. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Beberapa malam setelah Bima menempati rumah itu, ia mulai melihat sesuatu. Setiap malam, sekitar pukul tiga dini hari, saat Bima sedang tidur, ia sering terbangun karena merasakan hawa dingin yang menusuk. Dan setiap kali ia membuka mata, ia akan melihatnya. Sebuah bayangan.
Bayangan itu adalah siluet seorang pria tinggi dengan topi fedora dan jas panjang, berdiri di luar jendela kamarnya. Jendela kamar Bima berada di lantai dua, dan tidak ada pohon atau bangunan lain yang cukup tinggi di dekat sana yang bisa menjadi tempat berdirinya seseorang. Bayangan itu hanya diam, mematung, menatap ke dalam kamar Bima. Bima mencoba bersikap rasional. Mungkin itu hanya pantulan cahaya, atau ilusi optik. Tapi setiap malam, bayangan itu selalu ada di tempat yang sama, dengan posisi yang sama.
Suatu malam, Bima memberanikan diri untuk mendekati jendela. Dengan jantung berdebar kencang, ia melongok ke luar. Tidak ada apa-apa. Halaman belakang tampak kosong dan gelap. Ia menghela napas lega, mengira ia hanya berhalusinasi. Namun, saat ia berbalik, ia melihat bayangan itu lagi, kini berdiri tepat di belakang jendela, lebih dekat dari sebelumnya. Topi fedora-nya sedikit miring, dan Bima merasa seolah-olah mata di balik siluet gelap itu sedang menatapnya tajam.
Bima langsung menjauh dari jendela, ketakutan. Ia mencoba menyalakan lampu kamar, tapi lampu itu berkedip-kedip dan tidak menyala sempurna. Suasana di kamar menjadi remang-remang, dan bayangan itu semakin jelas di balik jendela. Bima mencoba menelepon temannya, tapi ponselnya tiba-tiba tidak ada sinyal. Ia merasa terjebak. Bayangan itu tetap di sana, tidak bergerak sedikit pun, hanya menatapnya dengan tatapan kosong.
Bima tidak bisa tidur semalaman. Ia hanya meringkuk di pojok kamarnya, menatap bayangan di jendela. Saat pagi tiba, dan cahaya matahari mulai menyinari kamar, bayangan itu perlahan memudar dan akhirnya menghilang. Bima segera keluar dari kamarnya dan mencari informasi tentang rumah itu dari tetangga. Seorang tetangga tua yang sudah lama tinggal di sana menceritakan sebuah kisah. Beberapa tahun lalu, seorang pria yang dulunya tinggal di rumah itu meninggal karena kecelakaan tragis. Konon, ia seringkali terlihat berdiri di jendela kamarnya, menatap ke luar, seolah menunggu sesuatu.
Sejak saat itu, Bima selalu memasang gorden tebal di jendela kamarnya, bahkan di siang hari. Ia tidak ingin lagi melihat bayangan misterius itu yang selalu muncul setiap malam. Ia tahu, bayangan itu bukan sekadar ilusi, melainkan sesuatu dari dunia lain yang masih betah bersemayam di rumah barunya.