Setelah pertemuan tak terduga di sawah, Aldi dan Heni mulai sering bertegur sapa. Aldi, dengan sikap santainya, selalu menyapa Heni saat mereka bertemu di warung atau di jalan setapak desa. Awalnya, Heni hanya tersenyum kecil atau sekadar mengangguk. Namun, perlahan ia merasa nyaman dengan keberadaan Aldi.
Suatu sore, ketika Aldi sedang duduk di teras rumahnya menikmati kopi hitam, Heni datang membawa sekeranjang pisang. "Ini, Mas Aldi. Pisang dari kebun, belum sempat dimasak. Daripada mubazir, siapa tahu Mas Aldi suka," ujar Heni dengan senyum tipis.
Aldi menerima dengan senang hati. "Wah, terima kasih, Mbak Heni. Kebetulan saya suka banget pisang goreng. Nanti saya goreng, boleh ya?" candanya sambil tertawa kecil.
Heni tersipu, tetapi tetap mencoba terlihat tenang. "Boleh dong, Mas. Kalau perlu tepungnya, saya ada di rumah. Tinggal bilang aja."
Percakapan kecil itu menjadi awal dari hubungan yang lebih akrab. Aldi, yang sebelumnya dikenal pendiam sejak kepergian istrinya, perlahan berubah menjadi lebih ceria. Sementara Heni, yang selama ini sibuk bekerja untuk menghidupi anak semata wayangnya, mulai merasakan ada seseorang yang peduli padanya.
Beberapa hari kemudian, Aldi melihat Heni sedang duduk di bawah pohon mangga, tampak termenung. Ia memberanikan diri untuk menghampiri. "Lagi mikirin apa, Mbak Heni? Kelihatannya serius banget."
Heni tersentak kecil, lalu tersenyum lemah. "Enggak kok, cuma lagi ingat almarhum suami. Kadang suka kangen kalau lagi sendiri begini."
Aldi terdiam sejenak. "Saya juga sering begitu. Kadang malah malam-malam kebangun cuma karena mimpi tentang istri saya dulu. Tapi... ya, waktu nggak pernah benar-benar menyembuhkan, ya? Kita cuma belajar jalan sambil bawa luka itu."
Mendengar itu, Heni menatap Aldi. Ada kehangatan dalam kata-katanya yang membuat Heni merasa dimengerti. "Iya, Mas. Saya pikir cuma saya yang merasa begitu. Ternyata kita sama-sama ya."
Sejak obrolan sore itu, mereka menjadi lebih dekat. Aldi sering membantu Heni di ladang, sementara Heni tak segan mengantarkan makanan untuk Aldi saat melihatnya sibuk. Keakraban mereka menjadi buah bibir di desa, tapi tak ada yang berani mengusik. Warga desa justru senang melihat keduanya saling mendukung. Bagi mereka, Aldi dan Heni adalah dua hati yang sama-sama terluka, kini mulai menemukan jalan untuk sembuh bersama.
Namun, di balik kebahagiaan yang mulai tumbuh, ada keraguan dalam hati Heni. Ia takut kehilangan lagi. Sementara Aldi, meski terlihat santai, sebenarnya sedang memikirkan bagaimana cara mengungkapkan perasaannya pada Heni tanpa membuatnya merasa tertekan.
Suatu malam, saat langit dipenuhi bintang, Aldi memberanikan diri mengajak Heni bicara. Di bawah pohon mangga yang sama, ia berkata, "Mbak Heni, saya tahu kita masih sama-sama menyimpan luka. Tapi, saya yakin kita bisa saling menguatkan. Bolehkah saya berharap lebih dari sekadar teman?"
Heni terdiam. Matanya berkaca-kaca. "Mas Aldi... saya nggak tahu apakah saya siap. Tapi, saya juga nggak mau kehilangan Mas. Kalau Mas sabar, mungkin kita bisa mencoba."
Jawaban itu sudah lebih dari cukup bagi Aldi. Dalam hatinya, ia berjanji akan menjaga hati Heni sebaik mungkin, tanpa terburu-buru. Karena cinta yang tulus tak perlu tergesa-gesa, cukup dirasakan dan dijalani dengan sepenuh hati.