Jika ada yang bilang hidup di desa itu tenang, damai, dan bebas dari drama kota, plis deh. Kalian pasti belum pernah ronda di Dusun Ngamuk, entah di mana tepatnya Jawa Tengah, yang penting jauh dari coffee shop kekinian. Jauh dari kata tenang, lur. Yang ada cuma drama mistis yang level kegokilannya sudah setara sinetron stripping Indosentol.
Bayangkan. Malam itu, Malam Jumat—yang konon adalah prime time-nya para demit ngalong—saya, Pak RT yang hobinya ngutang di warung, dan seorang influencer lokal yang kerjanya cuma live TikTok sambil nangkring di pos ronda, sedang menikmati secangkir kopi sachet (yang rasanya lebih mirip air cucian sepatu bot) sambil ngomongin kenaikan harga cabe rawit. Persis kayak kaum elite Jakarta ngomongin Bitcoin. Bedanya, kami pakai sarung dan celana kolor gombrong.
Pokoknya, suasana saat itu uwu sekali, penuh kehangatan, kalau saja bukan karena suhu udara yang bikin testis ngilu dan bau ketiak Pak RT yang menyengat karena tyda mandi seharian.
Tiba-tiba, boom!
Bukan, bukan ledakan bom, guys. Apalagi petasan. Ini lebih syahdu. Dari ujung gang yang gelapnya kayak masa depan freelancer tanpa BPJS, muncul siluet putih menjulang. Perlahan, tapi pasti, dia mendekat. Gerakannya lompat-lompat kayak atlet parkour yang keseleo tendon Achiles-nya.
“Nah lho, Pak RT! Siapa tuh yang pakai dress code Pocongan?” celetuk influencer lokal, sebut saja Paijo, yang buru-buru mengubah angle kameranya ke arah siluet itu. “Wih, viewers langsung naik 200! Dapat gift kopi instan nih gue!”
Pak RT—dengan kecepatan refleks yang mengejutkan, mungkin karena terinspirasi adegan slow-motion di film action—langsung menyambar pentungan ronda yang selama ini cuma buat nggaruk punggung.
“Hush, Jho! Itu bukan kostum! Itu… itu… POCOOOONG!” bisik Pak RT, suaranya naik dua oktaf seperti penyanyi dangdut yang kena not tinggi. Tapi, bapak satu ini aneh. Walaupun takut, dia tetap maju selangkah. Mungkin karena dia ingat, Pocong ini adalah satu-satunya makhluk di desa yang tyda pernah dia utangi.
Pocong itu terus melompat-lompat, dan semakin dekat, kami mulai menyadari ada yang tyda beres. Pocong ini tyda punya aura mistis yang mencekam. Justru, dia terlihat… ngos-ngosan. Keringat dinginnya bahkan nembus kain kafan yang terlihat less-aesthetic itu.
Sampai akhirnya, dia berhenti tepat di depan pos ronda. Dia ngap berat. Matanya yang merah menyala itu menatap kami dengan ekspresi yang sungguh-sungguh tidak horor, melainkan: MEMOHON.
“M-m-mas… P-pak RT…” suaranya serak, terdengar seperti speaker pos ronda yang kemasukan air hujan.
Paijo, si influencer durjana, malah merekam dari jarak satu meter. “Guys, Pocongnya friendly! Dia lagi collabs sama kita! Kasih love-nya dong! Giveaway pecel lele buat yang paling banyak share!”
“Halah, Paijo, mbok ya pecel lele mulu!” desis saya. Saya mencoba memasang wajah berani, hasil browsing tutorial stoicism di YouTube. “Ada apa, Cong? Mau minta sedekah pulsa?”
Pocong itu, dengan susah payah, mengangkat tangan yang terikat dan menunjuk ke arah perutnya. Kain kafan di perutnya kelihatan tegang, mengelembung tak wajar.
“A-a-aku… kebelet!” Pocong itu akhirnya berteriak. “KEBELET BOKER, COY! Gila, ini perut mulesnya kayak habis ngopi di pinggir jalan tapi pakai es batu dari kali!”
Seketika, kengerian kami lenyap, digantikan dengan rasa misuh berjamaah.
“HAH?!”
“Lha dalah! Pocong kok mencret!” seru Pak RT, pentungannya langsung turun, diganti dengan menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Plis, Mas! Nggak kuat aku! Tadi habis jagong di pernikahan demit sebelah. Makan hidangan prasmanan, lha kok sambelnya ndas-ndasan banget! Perutku langsung protes!” Pocong itu mulai jingkrak-jingkrak kecil, style Pocong joged yang tyda elegan sama sekali.
Paijo, tyda mau kehilangan momen, langsung ngasih Pocong itu mic kecil untuk live TikTok. “Guys, dengerin curhatan Pocong gabut ini! Relatable banget, kan? Siapa yang pernah mules gara-gara sambel, coba comment!”
Saya menggelengkan kepala. Inilah, saya pikir, tragedi horor yang sesungguhnya. Hantu pun tyda luput dari drama pencernaan yang brutal.
“Terus, kamu mau apa, Cong?” tanya saya, mencoba menjaga ketenangan. “Pos ronda tyda punya toilet, lur. Kami kalau kebelet ya ke kebun pisang belakang. Typo dikit, Pocong!”
Pocong itu meratap. “Hiks… tyda mungkin! Nggak estetik kalau boker di kebun pisang. Aku kan Pocong stylish! Image Pocongku bisa rusak!”
“Lha kamu itu Pocong, nggak ada image yang perlu dijaga!” Pak RT sewot. “Lagian, kamu ini Pocong apa influencer? Ribet amat!”
“Pokoknya, aku butuh tempat yang SENYAP, TENANG, dan SAKRAL!” balas Pocong itu.
Pak RT dan saya saling pandang. Hanya ada satu tempat yang paling sunyi, paling sakral, dan paling tyda akan didatangi orang di tengah malam selain pos ronda ini.
“Kuburan, Cong?” tebak Pak RT.
Pocong itu langsung sumringah. “Nah! KUBURAN! Di sana pasti sepi, privacy-nya terjamin, dan ambience-nya pas buat ritual pelepasan!”
“Tapi, kuburan desa kita kan lumayan jauh, Cong,” kata saya. “Kamu yakin mau lompat-lompat sejauh itu sambil nahan beban hidup (dan cabe rawit) di perut?”
Pocong itu kembali muram. “Duh iya, ya. Kalau kelamaan, bisa kecelakaan di jalan. Bisa viral jadi ‘Pocong berlumuran dosa di pantura’!”
Tiba-tiba, Paijo menyodorkan ponselnya. “Tenang, Pocong! Sebagai content creator profesional, kita harus pakai solusi berbasis teknologi!” Dia membuka aplikasi: Google Maps.
“Kita cari shortcut ke kuburan, Cong! Pilih yang rute paling lancar, tyda banyak traffic (hantu), dan review-nya bagus buat ‘tempat healing’!”
Maka, Malam Jumat itu, di pos ronda Dusun Ngamuk yang literally Ngamuk, kami melakukan sebuah rapat darurat yang sangat absurd. Tiga manusia (dan satu demit) serius menganalisis jalur tercepat menuju kuburan desa, lengkap dengan estimasi waktu tempuh.
“Ini, Cong! Lewat sawah mburi rumah Mbok Darmi, jalan kaki 5 menit, tyda usah lompat! Nanti belok kiri, terus langsung ketemu gapura ‘Selamat Datang di Pemakaman Umum Ngamuk, Please Jaga Kebersihan’!” saran Paijo, yang entah kenapa dia jadi tour guide dadakan buat Pocong kebelet.
Pocong itu menghela napas lega (atau Pocong poker face). “Alhamdulillah… Terima kasih, Mas-Mas gabut! Kalian adalah tim penyelamat pubertas Pocongku!”
Lalu, Pocong itu meluncur secepat kilat ke arah yang ditunjukkan Google Maps. Bukan melompat lagi, tapi meluncur saking takutnya dia tyda sampai. Kami bertiga—saya, Pak RT, dan Paijo—hanya bisa terdiam, menyaksikan adegan horor itu dari balik kepulan asap rokok.
“Gila,” gumam Pak RT. “Ini Pocong apa newbie KKN? Baru pertama ke desa aja sudah tyda tahan sama sambel kita!”
Paijo, yang tadi heboh bikin live, tiba-tiba mematikan kameranya. Wajahnya serius.
“Kenapa, Jho?” tanya saya.
“Viewers gue turun drastis,” kata Paijo dengan nada datar. “Mereka tyda suka Pocong mencret. Katanya tyda horor. Mereka maunya Pocong yang melayang sambil bawa golok!”
Pak RT menepuk bahu Paijo. “Sudahlah, Jho. Ini bukan masalah viewer. Ini masalah kemanusiaan, Nak. Walaupun dia Pocong, dia juga butuh privasi. Cuma, kok ya tyda etis banget Pocong curhat urusan perut di depan umum. Nggak profesional!”
Dan di tengah sunyi Malam Jumat yang tersisa, kami bertiga kembali merenungi nasib. Ternyata, hidup demit pun penuh struggle. Mereka juga bisa salah makan, mules, dan butuh Google Maps buat nyari tempat boker yang aesthetic.
Tapi, ada satu hal yang paling mengganggu pikiran saya.
“Pak RT,” bisik saya. “Kuburan itu kan belakang pos ronda persis. Kenapa harus muter lewat sawah Mbok Darmi?”
Pak RT menoleh, matanya membelalak. “Astaga! Iya, ya! Dia malah muter jauh banget!”
Paijo yang tadinya murung, langsung misuh lagi. “WOY POCOOOONG! KUBURAN ITU DI BELAKANGMU, COY!”
Namun, teriakan kami hanya dibalas oleh jangkrik dan aroma kopi sachet yang semakin nggak jelas rasanya. Pocong itu sudah menghilang, dengan tekad bulat menjalankan panggilan alam yang tyda kenal ampun.
Kami bertiga hanya bisa berharap, semoga dia tyda lupa diri dan malah bikin konten Pocong gabut di kuburan. Soalnya, kalau sampai Pocong ikutan flexing pakai kamera, fix, kiamat kecil sudah terjadi di Dusun Ngamuk.
