Berani baca? Tujuh cerita horor nyata dari berbagai penjuru, dari penampakan kuntilanak di kebun teh sampai teror di rumah kos. Dijamin bikin kamu mikir dua kali sebelum tidur sendirian!
1. Penunggu Pohon Beringin Tua
Kisah ini datang dari Dewi, seorang mahasiswa KKN di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah. Malam itu, hawa dingin menusuk kulit, meskipun bulan purnama bersinar terang. Dewi dan teman-temannya sedang asyik ngobrol di pos ronda, ditemani secangkir kopi hangat dan suara jangkrik yang sahut-menyahut. Tiba-tiba, topik pembicaraan beralih ke mitos dan kisah seram di desa itu. Salah seorang warga, Pak Kardi, mulai bercerita tentang pohon beringin tua di ujung desa, yang konon dihuni oleh sosok gaib.
"Jangan sekali-sekali mengganggu pohon itu, Nduk. Apalagi sampai buang air sembarangan atau berkata kotor di dekatnya," pesan Pak Kardi dengan nada serius. Dewi, yang pada dasarnya penakut tapi penasaran, hanya manggut-manggut. Keesokan harinya, saat mereka sedang melakukan survei untuk program kerja, Dewi dan dua temannya, Rina dan Budi, harus melewati jalan setapak yang kebetulan dekat dengan pohon beringin yang diceritakan Pak Kardi. Hari masih siang, jadi mereka merasa aman-aman saja. Namun, saat Rina ingin mengambil foto pemandangan, ponselnya tiba-tiba mati total. Mereka mencoba menyalakannya berkali-kali, tapi nihil.
"Aduh, lowbat kali ya?" ujar Rina sambil menghela napas.
"Tapi tadi pagi udah full kok," sahut Budi heran.
Ketika mereka berjalan lebih dekat ke pohon beringin, suasana mendadak berubah. Angin berembus kencang, meskipun daun-daun di sekitar tidak bergoyang sedikit pun. Udara terasa dingin menusuk, dan aroma melati yang kuat tiba-tiba tercium, padahal tidak ada bunga melati di sekitar sana. Dewi mulai merasa tidak enak. Jantungnya berdetak lebih cepat.
"Kok tiba-tiba dingin banget ya?" bisik Dewi pada Rina.
Rina mengangguk, wajahnya sedikit pucat. "Iya, kayak ada yang lewat..."
Tiba-tiba, dari balik rimbunnya dedaunan pohon beringin, terdengar suara tawa perempuan yang melengking, sangat dekat di telinga mereka. Suaranya serak, menusuk, dan terdengar seperti tawa yang sangat lama tertahan. Mereka bertiga sontak terdiam, membeku di tempat. Dewi merasa bulu kuduknya berdiri tegak, dan sekujur tubuhnya merinding hebat. Tawa itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih jauh, tapi tetap menyeramkan.
"Itu... itu suara apa?" tanya Budi dengan suara bergetar.
Tanpa banyak bicara, mereka bertiga langsung lari tunggang langgang, tidak peduli dengan tas atau peralatan survei yang mereka bawa. Mereka terus berlari sampai tiba di posko KKN, terengah-engah dan ketakutan. Setelah berhasil menenangkan diri, mereka menceritakan kejadian itu pada Pak Kardi. Pak Kardi hanya tersenyum tipis.
"Itu teguran dari penunggu pohon, Nduk. Mereka tidak suka diganggu," katanya sambil menggelengkan kepala. Sejak saat itu, Dewi dan teman-temannya selalu memilih jalan memutar, tidak berani lagi mendekati pohon beringin tua itu. Pengalaman itu benar-benar mengukir ketakutan yang mendalam di hati mereka, dan menjadi cerita yang selalu mereka ingat setiap kali reuni.
2. Penghuni Kamar Kos Nomor 13
Kisah ini dialami oleh Andi, seorang perantau dari Sumatera yang bekerja di Jakarta. Ia menyewa sebuah kamar kos di daerah pinggiran kota yang lumayan sepi. Kos-kosan itu adalah bangunan tua dua lantai dengan banyak kamar, dan kamar Andi terletak di lantai dua, di ujung koridor. Kamar nomor 13. Awalnya, Andi tidak terlalu memikirkan nomor itu, toh ia hanya butuh tempat untuk tidur dan beristirahat.
Beberapa minggu pertama berjalan normal. Andi sibuk dengan pekerjaannya, pulang malam, dan langsung tidur. Namun, mulai masuk bulan kedua, keanehan-keanehan mulai terjadi. Awalnya hanya sepele, seperti pintu kamar yang terbuka sedikit padahal ia yakin sudah menutupnya rapat-rapat, atau lampu kamar mandi yang menyala sendiri. Andi berpikir ia mungkin lupa atau terlalu lelah.
Suatu malam, sekitar pukul 2 pagi, Andi terbangun karena mendengar suara ketukan dari dalam lemari pakaiannya. Tok tok tok. Pelan tapi jelas. Ia mengira itu tikus atau mungkin tetangga kamar sebelah, tapi suara ketukan itu berirama, seperti ketukan jari yang disengaja. Andi mencoba mengabaikannya dan kembali tidur. Namun, ketukan itu tidak berhenti, malah semakin cepat. Tok tok tok tok tok!
Andi akhirnya memberanikan diri. Dengan jantung berdebar kencang, ia membuka lemari pakaiannya. Tidak ada apa-apa. Lemari itu kosong, hanya ada pakaian-pakaiannya yang tergantung rapi. Ia menutup lemari itu kembali, tapi tak lama kemudian, suara ketukan itu muncul lagi, kali ini dari balik pintu kamarnya. Andi kaget setengah mati. Ia mengintip lewat celah di bawah pintu, tapi tidak ada bayangan kaki siapa pun.
Ketakutan Andi semakin menjadi-jadi saat ia mulai mendengar suara bisikan-bisikan samar di tengah malam. Suara itu terdengar seperti gerutuan, kadang seperti orang menangis tersedu-sedu. Suaranya sangat pelan, seolah-olah bersembunyi di balik keheningan malam, namun cukup untuk membuat bulu kuduk Andi merinding. Ia sering terbangun dengan perasaan tidak nyaman, seperti ada yang mengawasinya.
Puncaknya terjadi saat ia sedang video call dengan orang tuanya. Tiba-tiba, kamera ponselnya menangkap bayangan hitam melintas cepat di belakang Andi. Bayangan itu tinggi, kurus, dan bergerak sangat cepat sehingga Andi tidak sempat melihat detailnya. Orang tuanya di seberang sana langsung berteriak.
"Andi! Tadi ada apa di belakangmu?!" teriak ibunya panik.
Andi menoleh ke belakang, tapi tidak ada apa-apa. Ia mencoba meyakinkan ibunya bahwa itu hanya bayangan lampu atau mungkin gangguan sinyal. Namun, dalam hati, ia tahu itu bukan hal biasa. Malam itu, ia memutuskan untuk tidur di kamar teman kosnya yang lain. Ia menceritakan semua keanehan yang ia alami. Temannya, yang sudah lama tinggal di kos itu, hanya menggelengkan kepala.
"Itu penghuni kamar nomor 13, Ndi. Katanya dulu ada yang meninggal di kamar itu karena sakit keras, dan arwahnya masih betah di sana," jelas temannya dengan suara pelan.
Andi langsung merinding. Esoknya, ia memutuskan untuk mencari kos baru. Ia tidak sanggup lagi tinggal di kamar nomor 13 yang menyimpan begitu banyak misteri dan teror. Meskipun ia tidak pernah melihat sosoknya secara jelas, kehadiran makhluk itu sudah cukup untuk membuatnya trauma dan selalu dihantui rasa takut setiap kali ia melewati koridor kos-kosan tua itu.
3. Penampakan di Kebun Teh
Kisah ini dialami oleh Siti, seorang perawat yang bekerja di sebuah klinik di daerah pegunungan. Setiap sore, setelah shift malamnya selesai, Siti sering menghabiskan waktu di kebun teh yang terletak tak jauh dari klinik. Udara sejuk, pemandangan hijau yang membentang luas, dan ketenangan selalu menjadi pelipur lara bagi Siti yang sering menghadapi hiruk pikuk pasien.
Suatu sore, sekitar pukul 5 sore, Siti berjalan-jalan sendirian di antara deretan pohon teh yang rapi. Matahari mulai terbenam, memancarkan cahaya jingga keemasan yang indah. Siti menikmati setiap langkahnya, menghirup aroma teh yang khas, dan mendengarkan suara burung-burung yang mulai kembali ke sarangnya. Ia berjalan semakin jauh, menikmati kesendiriannya.
Ketika ia melewati sebuah tikungan di jalan setapak, Siti melihat seorang wanita duduk membelakanginya di salah satu gundukan tanah di tengah kebun teh. Wanita itu mengenakan kebaya putih lusuh dan rambutnya panjang tergerai. Siti berpikir mungkin itu salah satu pekerja kebun teh yang sedang beristirahat. Ia tidak terlalu memperhatikannya dan terus berjalan.
Namun, saat ia melangkah lebih dekat, Siti merasa ada yang aneh. Wanita itu tidak bergerak sama sekali. Posisinya tetap sama, membelakangi Siti. Siti mencoba menyapa, "Permisi, Bu?"
Tidak ada jawaban. Wanita itu tetap diam, seperti patung. Siti mulai merasa tidak nyaman. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mencoba mendekat lagi, berniat untuk menanyakan apakah wanita itu baik-baik saja. Ketika ia sudah cukup dekat, Siti melihat sesuatu yang membuatnya terkesiap dan langsung merinding. Wanita itu tidak memiliki kaki. Tubuhnya hanya sampai pinggang, melayang beberapa inci di atas tanah.
Rambutnya yang panjang dan hitam legam menutupi sebagian wajahnya, tapi Siti bisa melihat sekilas wajahnya yang pucat pasi dan tatapan mata yang kosong. Bau melati yang sangat kuat tiba-tiba menyeruak di udara, menusuk indra penciuman Siti. Siti langsung tahu. Itu bukan manusia. Itu adalah kuntilanak.
Dengan seluruh keberanian yang tersisa, Siti berbalik badan dan berlari sekencang-kencangnya, tidak peduli dengan napasnya yang tersengal-sengal atau batu-batu kecil yang membuat kakinya tersandung. Ia terus berlari tanpa menoleh ke belakang sedikit pun, sampai ia tiba di klinik dengan napas terengah-engah dan tubuh gemetar hebat.
Teman-temannya di klinik langsung panik melihat Siti yang pucat pasi dan berkeringat dingin. Setelah Siti menceritakan apa yang ia alami, salah seorang perawat senior hanya menghela napas.
"Sudah sering kejadian seperti itu, Ti. Apalagi kalau sudah sore. Makanya jangan sendirian kalau sudah mau gelap," kata perawat senior itu. Sejak saat itu, Siti tidak pernah lagi berani berjalan-jalan sendirian di kebun teh, terutama saat sore hari menjelang gelap. Pengalaman itu benar-benar mengajarinya untuk tidak pernah meremehkan cerita-cerita mistis yang ada di sekitar kita.
4. Boneka Berbisik di Gudang Tua
Kisah ini dialami oleh Rio, seorang kolektor barang antik yang sering berburu di pasar loak atau gudang-gudang tua. Suatu kali, Rio menemukan sebuah gudang tua yang akan dirobohkan, dan ia mendapat izin untuk melihat-lihat barang-barang di dalamnya, berharap menemukan permata tersembunyi. Gudang itu gelap, berdebu, dan dipenuhi dengan tumpukan barang-barang bekas yang entah sudah berapa lama tidak disentuh.
Di sudut gudang, di bawah tumpukan kain usang, Rio menemukan sebuah kotak kayu tua. Saat ia membukanya, ia menemukan sebuah boneka porselen tua yang cantik, dengan gaun renda yang sudah usang dan mata biru yang jernih. Rio, yang memang suka mengoleksi boneka antik, merasa senang dengan temuannya ini. Ia membeli boneka itu dengan harga murah dan membawanya pulang.
Awalnya, boneka itu hanya menjadi pajangan di lemari koleksinya. Namun, beberapa malam kemudian, Rio mulai mendengar suara-suara aneh dari arah lemari. Suara itu sangat pelan, seperti bisikan, dan kadang-kadang seperti tawa anak kecil. Rio mengira itu hanya perasaannya saja, atau mungkin suara dari luar rumah.
Namun, suatu malam, saat ia sedang membaca buku di ruang tamu, ia mendengar suara bisikan itu lagi, kali ini lebih jelas. "Rio... jangan... tinggalkan... aku..."
Suara itu terdengar seperti suara anak perempuan kecil, sangat lembut tapi menyeramkan. Rio langsung menoleh ke arah lemari koleksinya. Boneka porselen itu masih di sana, duduk manis di tempatnya. Rio mencoba menenangkan dirinya, berpikir ia mungkin terlalu banyak menonton film horor.
Namun, keanehan tidak berhenti di situ. Beberapa kali, Rio menemukan boneka itu berpindah tempat. Pernah ia menemukannya duduk di kursi meja makan, padahal ia yakin sudah menaruhnya di lemari. Pernah juga ia menemukannya berdiri di ambang pintu kamarnya, seolah-olah sedang mengawasinya. Bulu kuduk Rio mulai merinding.
Puncaknya, suatu malam, saat ia tidur, Rio terbangun karena merasakan ada sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Ia membuka mata, dan yang ia lihat adalah wajah boneka porselen itu, tepat di depan wajahnya, dengan mata biru yang menatapnya kosong. Rio langsung berteriak dan terjatuh dari tempat tidur. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal.
Ia menyalakan lampu dan melihat boneka itu sudah kembali ke tempatnya di lemari, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi Rio tidak bisa lagi tenang. Ia tahu boneka itu hidup, dan ia merasa teror dari boneka itu semakin nyata. Keesokan harinya, Rio memutuskan untuk membuang boneka itu. Ia membungkusnya dengan koran dan memasukkannya ke dalam kantung sampah yang tebal, lalu membuangnya ke tempat pembuangan sampah jauh dari rumahnya.
Ia berharap itu adalah akhir dari teror boneka itu. Namun, beberapa hari kemudian, saat ia pulang kerja, Rio menemukan boneka porselen itu duduk manis di depan pintu rumahnya, seolah-olah menunggu kepulangannya. Gaun rendanya sedikit kotor, tapi matanya masih menatap kosong. Rio langsung lemas. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Boneka itu seperti tidak ingin pergi dari hidupnya. Akhirnya, Rio memutuskan untuk memberikan boneka itu kepada seorang teman yang juga suka mengoleksi barang antik, dengan pesan agar temannya itu berhati-hati. Rio tidak pernah lagi berani mendekati boneka porselen itu, dan setiap kali ia mengingat kejadian itu, ia selalu merasa ketakutan yang mendalam.
5. Rumah Tua di Ujung Jalan
Kisah ini menimpa Faisal, seorang pengembang properti yang sedang meninjau sebuah rumah tua di ujung jalan yang akan direnovasi menjadi perumahan modern. Rumah itu sudah kosong selama bertahun-tahun, terbengkalai, dan ditumbuhi semak belukar yang rimbun. Jendela-jendela kacanya pecah, cat dindingnya mengelupas, dan suasana di sekitarnya terasa sangat suram.
Faisal ditemani oleh dua anak buahnya, Budi dan Doni, untuk melakukan survei awal. Begitu masuk ke dalam rumah, aroma apek dan debu langsung menyergap. Lantai kayu berderit di setiap langkah, dan suara angin yang masuk melalui celah-celah jendela menambah kesan angker. Mereka membawa senter, karena listrik di rumah itu sudah lama diputus.
Saat mereka menjelajahi setiap ruangan, Faisal merasa ada sesuatu yang tidak beres. Udara di dalam rumah terasa sangat berat, dan ada hawa dingin yang menusuk meskipun di luar panas terik. Di beberapa sudut, Faisal merasa seperti ada yang mengawasinya. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, fokus pada pekerjaannya.
Di salah satu kamar tidur di lantai dua, Faisal menemukan sebuah cermin besar yang sudah retak, tergantung di dinding. Cermin itu terlihat sangat tua dan berkarat. Tiba-tiba, saat Faisal sedang melihat cermin itu, ia melihat bayangan putih melintas cepat di belakangnya, tepat di dalam pantulan cermin. Bayangan itu sangat samar, seperti kilasan sesaat. Faisal langsung menoleh ke belakang, tapi tidak ada apa-apa. Budi dan Doni yang berada di ruangan lain juga tidak melihat apa-apa.
"Kalian lihat sesuatu?" tanya Faisal, mencoba terlihat santai.
"Enggak, Pak. Kenapa?" jawab Budi.
Faisal menggeleng, berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanya halusinasi. Namun, saat mereka turun ke lantai bawah, suara dentuman keras tiba-tiba terdengar dari lantai dua, seolah-olah ada sesuatu yang jatuh atau dibanting. Mereka bertiga sontak terdiam, saling berpandangan.
"Suara apa itu?" tanya Doni dengan suara bergetar.
Faisal mencoba mencari sumber suara, tapi tidak ada yang aneh. Semua barang tampak di tempatnya. Namun, saat mereka melangkah menuju pintu keluar, suara tangisan anak kecil tiba-tiba terdengar sangat jelas dari lantai atas. Suaranya melengking, penuh kesedihan, dan seperti datang dari ruangan yang berbeda-beda.
Faisal, Budi, dan Doni langsung panik. Mereka saling dorong untuk keluar dari rumah itu. Saat mereka sudah berada di luar, di bawah sinar matahari, mereka bisa bernapas lega. Namun, ketakutan masih terpancar jelas di wajah mereka.
"Rumah ini... angker, Pak," ujar Budi terbata-bata.
Faisal mengangguk, tidak bisa membantah. Mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan survei hari itu. Beberapa hari kemudian, Faisal mencoba mencari informasi tentang sejarah rumah itu. Ia menemukan bahwa rumah itu dulunya adalah milik sebuah keluarga yang mengalami tragedi. Ada seorang anak kecil yang meninggal di rumah itu karena sakit parah, dan setelah itu, keluarganya pindah karena tidak tahan dengan gangguan-gangguan yang sering terjadi.
Mendengar cerita itu, Faisal memutuskan untuk membatalkan proyek renovasi rumah itu. Ia tidak ingin mengambil risiko, apalagi sampai terjadi hal yang tidak diinginkan pada pekerja-pekerjanya. Rumah tua itu tetap dibiarkan kosong, dengan cerita-cerita angker yang terus menyelimuti setiap sudutnya. Dan Faisal tidak pernah lagi berani mendekati rumah itu sendirian.
6. Teror di Jalur Pendakian Gunung Lawu
Kisah ini dialami oleh Bayu dan teman-temannya, sekelompok mahasiswa pecinta alam yang sedang mendaki Gunung Lawu. Gunung Lawu memang terkenal dengan keindahan alamnya, tapi juga menyimpan banyak cerita mistis dan tempat-tempat keramat. Bayu dan rombongannya sudah berpengalaman dalam mendaki gunung, namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Mereka memulai pendakian di pagi hari, suasana cerah dan semangat mereka membara. Namun, saat mereka mencapai pos 3, kabut tebal tiba-tiba turun, menutupi pandangan mereka. Suhu udara juga mendadak turun drastis, membuat mereka harus memakai jaket tebal. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos tersebut, menunggu kabut reda.
Saat mereka sedang makan bekal, Bayu mendengar suara gamelan samar-samar dari arah hutan. Suara itu terdengar sangat pelan, seperti datang dari kejauhan, tapi cukup jelas untuk didengar. Ia mencoba bertanya pada teman-temannya.
"Kalian dengar suara gamelan?" tanya Bayu.
Teman-temannya saling berpandangan. "Enggak tuh, Yu. Perasaanmu aja kali," jawab Ardi, salah satu teman Bayu.
Bayu tidak yakin. Ia yakin sekali mendengar suara itu. Beberapa saat kemudian, kabut mulai sedikit menipis, dan mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun, tak lama setelah berjalan, Ardi tiba-tiba mengeluh pusing dan mual. Wajahnya pucat pasi dan ia mulai berkeringat dingin.
"Aku... aku enggak enak badan, Yu," kata Ardi dengan suara lemah.
Mereka memutuskan untuk mendirikan tenda darurat dan membiarkan Ardi beristirahat. Saat Ardi terlelap, Bayu dan dua teman lainnya, Sita dan Doni, mulai merasakan keanehan. Mereka merasa seperti ada yang mengikuti mereka. Setiap kali mereka menoleh, tidak ada siapa-siapa, tapi perasaan diawasi itu sangat kuat.
Malam itu, mereka tidak bisa tidur nyenyak. Suhu udara semakin dingin, dan suara-suara aneh mulai terdengar di sekitar tenda. Suara bisikan, suara langkah kaki yang menyeret, dan kadang-kadang seperti suara orang tertawa cekikikan. Suara gamelan yang samar-samar juga terdengar lagi, kali ini lebih jelas dan lebih dekat.
Puncaknya terjadi saat sekitar pukul 3 pagi. Tiba-tiba, tenda mereka bergoyang-goyang kencang, seolah-olah ada yang mengguncangnya dari luar. Mereka berempat terbangun dengan kaget dan ketakutan. Mereka mendengar suara perempuan menyanyi dengan nada yang sangat melengking, tepat di depan tenda mereka. Suaranya serak dan menakutkan, seperti suara dari dunia lain.
Bayu memberanikan diri mengintip dari celah tenda. Ia melihat bayangan putih samar-samar berdiri di depan tenda, tingginya sekitar dua meter, dengan rambut panjang terurai. Bayangan itu terlihat seperti perempuan, tapi wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup kabut tebal. Bau dupa dan kembang melati yang menyengat tiba-tiba tercium, membuat mereka mual.
"Jangan bergerak... jangan bersuara..." bisik Sita ketakutan.
Mereka berempat hanya bisa diam, memejamkan mata, dan berdoa dalam hati. Suara nyanyian itu terus terdengar, diiringi suara gamelan yang semakin jelas. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, suara-suara itu perlahan mereda dan menghilang. Tenda juga berhenti bergoyang.
Saat pagi tiba, mereka langsung membongkar tenda dan memutuskan untuk turun gunung. Ardi yang tadinya sakit, tiba-tiba merasa lebih baik. Mereka tidak berani lagi melanjutkan pendakian. Ketika mereka menceritakan kejadian itu pada penduduk desa di kaki gunung, mereka hanya menghela napas.
"Itu penunggu gunung, Le. Mereka tidak suka diganggu," kata seorang warga. Mereka baru tahu bahwa Gunung Lawu memang dikenal sebagai gunung yang dijaga oleh sosok-sosok gaib, dan banyak pantangan yang harus dipatuhi. Sejak saat itu, Bayu dan teman-temannya tidak pernah lagi mendaki Gunung Lawu, dan pengalaman itu menjadi pelajaran berharga tentang menghormati alam dan penghuninya yang tak kasat mata.
7. Misteri Ambulance Tua
Kisah ini dialami oleh Dimas, seorang sopir ambulance swasta yang sering mengambil shift malam di Jakarta. Ambulance tempat Dimas bekerja adalah ambulance tua yang sudah lama dipakai, warnanya agak kusam dan mesinnya sering rewel. Dimas tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, yang penting ia bisa bekerja.
Suatu malam, sekitar pukul 1 dini hari, Dimas mendapat panggilan untuk menjemput jenazah dari sebuah rumah sakit ke rumah duka di pinggiran kota. Malam itu sangat sepi, jalanan lengang, dan lampu-lampu jalan terlihat redup. Dimas mengendarai ambulance sendirian, karena asistennya sedang cuti.
Saat ia dalam perjalanan menuju rumah sakit, Dimas merasa ada yang aneh dengan ambulance yang ia kemudikan. Tiba-tiba, suhu di dalam mobil menjadi sangat dingin, padahal AC tidak dinyalakan. Ia juga merasa seperti ada embusan napas dingin di tengkuknya. Dimas mencoba mengabaikannya, berpikir ia hanya kelelahan.
Namun, ketika ia melewati sebuah area pemakaman tua, lampu interior ambulance tiba-tiba menyala dan mati sendiri berulang kali. Kaca spion tengah juga tiba-tiba berembun, seolah-olah ada yang mengembuskan napas di permukaannya. Dimas mulai merasa takut.
"Astaga, jangan-jangan ini... hantu?" gumamnya dalam hati.
Saat ia tiba di rumah sakit, jenazah yang akan dijemput sudah siap. Itu adalah jenazah seorang nenek-nenek. Dimas dan dua petugas rumah sakit memasukkan jenazah ke dalam ambulance. Setelah itu, Dimas kembali mengemudikan ambulance menuju rumah duka.
Dalam perjalanan, keanehan kembali terjadi. Kali ini, Dimas mendengar suara seperti orang menangis dari bagian belakang ambulance, tempat jenazah diletakkan. Suaranya sangat pelan, tapi jelas. Dimas mencoba melihat dari kaca spion, tapi ia hanya melihat peti jenazah yang tertutup kain.
"Mungkin cuma perasaanku," pikir Dimas, mencoba menenangkan diri.
Namun, suara tangisan itu semakin jelas dan semakin keras, disertai dengan suara isakan. Dimas mulai merinding. Ia tahu itu bukan suara dari luar. Suara itu berasal dari dalam ambulance, tepat di belakangnya. Tiba-tiba, dari arah belakang, terdengar suara seperti orang menggaruk-garuk dinding ambulance dari dalam. Krek krek krek.
Dimas langsung panik. Ia mempercepat laju ambulance, berharap bisa segera sampai di rumah duka. Ia memutar musik keras-keras, mencoba menutupi suara-suara aneh itu, tapi sia-sia. Suara tangisan dan garukan itu semakin menjadi-jadi, seolah-olah ada yang ingin keluar dari peti jenazah.
Ketika ia akhirnya tiba di rumah duka, tubuh Dimas sudah gemetar hebat dan keringat dingin membanjiri dahinya. Petugas rumah duka yang menunggu di sana langsung membuka pintu belakang ambulance. Mereka melihat peti jenazah masih tertutup rapat, tidak ada yang aneh.
"Kenapa, Mas Dimas? Kok pucat sekali?" tanya salah satu petugas.
Dimas hanya bisa menggelengkan kepala, tidak sanggup bercerita apa pun. Ia langsung menyerahkan kunci ambulance dan bergegas pulang. Keesokan harinya, Dimas memutuskan untuk mengambil cuti dan tidak mau lagi mengambil shift malam. Ia menceritakan kejadian itu pada teman-teman sopir ambulance lainnya. Mereka hanya mengangguk-angguk.
"Ambulance itu memang ada penunggunya, Mas. Kadang suka iseng," kata salah seorang teman.
Dimas tidak pernah lagi berani mengemudikan ambulance tua itu sendirian di malam hari. Pengalaman itu benar-benar mengajarinya bahwa ada hal-hal di luar nalar yang bisa terjadi kapan saja, bahkan di dalam sebuah ambulance yang seharusnya menjadi kendaraan penyelamat.