Bisikan dari Rimba Terlarang ( Horor - Part 1 )

Arv
By -
0
Bisikan dari Rimba Terlarang


Udara malam di Gunung Rajawali menggigit tulang, tapi semangat kami membara. Ya, kami, sekelompok mahasiswa pecinta alam, sedang menantang Rajawali, gunung yang terkenal bukan cuma karena puncaknya yang gagah, tapi juga bisikan-bisikan horor yang menyertainya. Pemimpin kami, Arya, adalah tipikal petualang sejati: wajahnya selalu santai, tawanya renyah, dan nyalinya setinggi puncak Rajawali itu sendiri. Dia yang paling antusias soal ekspedisi ini, bahkan setelah kami mendengar cerita-cerita seram tentang "penunggu rimba" dari penduduk desa terakhir yang kami lewati.

Malam pertama, semua masih baik-baik saja. Kami makan malam di tepi api unggun yang berkedip, berbagi cerita konyol, dan sesekali melemparkan guyonan tentang hantu gunung. Arya, seperti biasa, paling dominan dengan kisah-kisah petualangannya yang mendebarkan. Setelah semua lelah dan kantuk menyerang, kami masuk tenda masing-masing. Aku ingat betul, Arya pamit ke semak-semak sebentar sebelum tidur, katanya sih buang air. Itu sekitar jam setengah dua belas malam.

Sekitar satu jam kemudian, aku terbangun. Bukan karena suara langkah Arya kembali ke tenda, melainkan karena dingin yang menusuk dan keheningan yang aneh. Keheningan yang bukan keheningan malam biasa di hutan, tapi keheningan yang seolah menahan napas, seperti ada sesuatu yang baru saja lewat. Aku merinding. Spontan aku meraih ponsel, mengecek jam, lalu mencoba memejamkan mata lagi. Tapi samar-samar, kudengar sesuatu.

"Sssttt… Arya…"

Suara itu seperti bisikan angin yang berdesir melewati daun-daun, tapi entah kenapa, terdengar sangat dekat di telingaku. Aku tersentak, duduk tegak di dalam sleeping bag. Jantungku berpacu gila-gilaan. Aku menajamkan pendengaran, berharap itu hanya imajinasiku atau suara binatang malam. Tapi tidak, suara itu berulang, lebih jelas, dan kali ini disertai tawa kecil yang serak, dingin, seperti embusan napas dari lubang kubur.

Aku langsung menyambar senter dan membuka ritsleting tenda. Gelap gulita menyambut. Hanya siluet pohon-pohon raksasa yang menari-nari diterpa angin. Teman-teman yang lain masih pulas. "Arya?" panggilku pelan, takut membangunkan yang lain. Tak ada jawaban. Suasana makin mencekam. Perasaanku tidak enak. Buru-buru aku keluar tenda, melangkah pelan menuju tenda Arya. Ritsletingnya sudah terbuka, sedikit menganga. "Arya? Lo udah tidur?" tanyaku sambil mendorong ritsletingnya sedikit lebih lebar.

Senterku menyapu bagian dalam tenda. Kosong. Sleeping bag-nya masih tergulung rapi, ranselnya teronggok di sudut. Arya tidak ada. Panikku langsung melonjak. Dia kan cuma mau buang air, masa selama ini? Aku berbalik, senterku menyapu tanah di depan tenda. Dan di sanalah aku melihatnya: senter milik Arya, tergeletak begitu saja di tanah, lensanya pecah sebagian. Di sebelahnya, kompasnya tergeletak dengan jarum yang berputar-putar tak tentu arah.

Sekilas, aku melihat sesuatu di ujung cahaya senterku, di balik semak-semak lebat yang gelap. Bukan jejak kaki, tapi seperti guratan panjang di tanah, seolah sesuatu yang besar dan berat baru saja diseret. Bulu kudukku berdiri. Otakku langsung memutar ulang bisikan dan tawa serak tadi. Itu bukan angin, bukan binatang. Itu… sesuatu.

Dari kegelapan hutan yang pekat, seolah ada bisikan-bisikan aneh yang mulai menyelimuti kami, bergema pelan di antara pepohonan. Bukan hanya satu suara, tapi banyak. Berdesir, bergetar, seolah rimba itu sendiri sedang berbisik tentang nasib Arya, atau mungkin… sedang memanggil kami untuk ikut merasakan apa yang dia alami.

Aku menggigil hebat. Ini bukan lagi sekadar ekspedisi. Ini adalah awal dari mimpi buruk yang nyata. Apa yang sebenarnya terjadi pada Arya? Dan, apakah kami, teman-temannya, akan menjadi korban selanjutnya dari bisikan-bisikan Rimba Terlarang ini?

Tags:

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Out
Ok, Go it!