Pagi itu, suasana di basecamp mini kami bukan lagi tentang gairah petualangan, melainkan diselimuti kabut ketakutan. Setelah semalam suntuk mencari Arya tanpa hasil, ditambah penemuan senter dan kompasnya yang rusak, pikiran kami kalut. Tim SAR dari desa sudah datang, menyisir area sekitar tenda dan jalur pendakian utama. Tapi, seperti Arya yang lenyap begitu saja, mereka pun tak menemukan jejak signifikan apa pun. Hanya pepohonan, semak belukar, dan keheningan yang menjadi saksi bisu. Rasanya seperti Arya tidak menghilang, tapi menguap ke udara tipis.
Kami, teman-teman Arya — aku, Rian si logistik, dan Nisa si pendiam yang punya intuisi kuat — memutuskan untuk tetap tinggal. Meninggalkan Arya begitu saja rasanya tidak mungkin. Kami mendirikan basecamp darurat di dekat lokasi tenda kami sebelumnya, berharap Arya akan kembali atau setidaknya kami menemukan petunjuk baru. Namun, petunjuk yang kami temukan justru lebih mengerikan daripada ketiadaan petunjuk itu sendiri.
Pagi kedua, saat matahari nyaris menembus kanopi hutan, aku bangun dengan rasa pegal dan kantuk yang luar biasa. Begitu aku keluar dari tenda untuk buang air, mataku langsung menangkap sesuatu di tanah. Beberapa jejak kaki yang samar, seperti cetakan kaki telanjang, muncul di tanah lembap sekitar tenda kami. Aku mengerjap, menggosok mata. Mustahil. Kami semua memakai sepatu gunung, dan jejak ini… mereka terlalu kecil, terlalu kurus, dan yang paling aneh, tidak ada jejak yang mengarah atau menjauh dari sana. Seolah-olah kaki itu muncul begitu saja dari tanah, berdiri sejenak, lalu lenyap. Aku memanggil Rian dan Nisa. Mereka berdua terdiam, wajah mereka sepucat kertas.
"Ini… ini bukan jejak manusia," gumam Rian, suaranya sedikit bergetar. Dia mendekat, mencoba meraba jejak itu. "Terlalu kecil, dan… lihat, tidak ada kedalamannya. Seperti cuma bayangan."
Nisa tidak bicara, tapi matanya menyapu sekeliling, tatapannya kosong, seperti melihat sesuatu yang tidak kasat mata. Dia punya kepekaan lebih, seperti yang sering dia katakan. Kami sering menganggapnya omong kosong, tapi di tengah situasi seperti ini, setiap firasat Nisa terasa seperti kebenaran yang menakutkan.
Malam itu, setelah seharian menyusuri area sekitar basecamp tanpa hasil, suasana kembali mencekam. Api unggun tidak mampu mengusir dingin yang merayap hingga ke tulang. Kami duduk melingkar, hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani. Tiba-tiba, aroma melati yang sangat pekat menyeruak, menusuk hidung. Bukan melati segar yang biasa kita cium di kebun, tapi melati busuk, seperti bunga yang sudah layu dan membusuk selama berhari-hari, bercampur dengan bau apak dan amis yang samar.
Aku refleks menutup hidung. "Bau apa ini?" tanyaku.
Rian juga mengendus-endus. "Melati? Tapi… busuk banget. Dari mana?"
Nisa, yang tadinya diam, tiba-tiba menoleh cepat ke arah kegelapan di balik pohon. Wajahnya pucat pasi. "Itu… itu dia," bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
"Siapa, Nis?" tanyaku, jantungku berdegup kencang.
"Yang dari semalam," jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Dia mengawasi kita."
Kami bertiga terdiam. Aroma melati busuk itu perlahan menghilang, digantikan oleh keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya. Malam itu, kami tidak bisa tidur nyenyak. Setiap desir angin, setiap ranting patah, terasa seperti langkah kaki yang mendekat. Aku yakin, Rian juga merasakan hal yang sama. Kami terus berjaga, bergantian memandangi kegelapan di luar tenda.
Keesokan harinya, kejadian aneh itu terus berlanjut. Jejak kaki samar muncul lagi, kali ini lebih banyak, seolah ada beberapa "entitas" yang mengitari tenda kami semalam. Aroma melati busuk itu datang dan pergi, kadang kuat sekali hingga membuat kami mual, kadang hanya samar-samar tercium. Nisa makin sering melamun, matanya sering menatap kosong ke suatu titik, seolah sedang berkomunikasi dengan sesuatu yang tidak terlihat.
Suatu sore, saat Rian sedang memeriksa peta dan aku menyiapkan makan malam, Nisa tiba-tiba berteriak. Bukan teriak histeris, melainkan teriakan terkejut yang tertahan. Aku dan Rian langsung menoleh. Nisa berdiri di dekat pohon besar yang sudah tumbang, jari telunjuknya gemetar menunjuk ke arah daun-daun kering di bawah pohon.
"Aku… aku dengar lagi," bisiknya, suaranya gemetar.
"Dengar apa, Nis?" tanyaku.
"Suara… memanggil nama Arya," jawabnya, matanya berkaca-kaca. "Tapi… bukan dari sini. Seperti dari… tempat lain."
Rian menyentuh bahu Nisa. "Mungkin cuma halusinasi, Nis. Kita semua stres."
Nisa menggeleng. "Tidak, Rian. Ini beda. Suaranya… seperti bergema dari dalam tanah, atau dari balik pohon-pohon ini. Arya… dia ada di dekat sini. Tapi dia tidak di dunia kita."
Perkataan Nisa membuat kami merinding. Apakah itu berarti Arya terjebak di dimensi lain? Apakah mitos tentang penunggu Rajawali itu nyata? Pikiran tentang portal atau gerbang ke dunia lain mulai terlintas di benakku, meski terdengar gila. Tapi di tengah keanehan yang kami alami, apa lagi yang bisa menjelaskan semua ini?
Malam itu, Nisa menjadi lebih gelisah. Dia terus bolak-balik di sekitar tenda, matanya tajam menatap kegelapan. Aku dan Rian tidak berani menegurnya. Kami tahu, ada sesuatu yang sedang dia rasakan. Tepat di tengah malam, saat kami berdua mulai terlelap, Nisa tiba-tiba berdiri tegak di tengah basecamp, tangannya terulur ke depan, matanya terpejam.
"Arya…" panggilnya lirih. "Kenapa… kenapa kamu di sana?"
Suaranya bukan lagi suara Nisa. Ada nada lain di dalamnya, seperti gema yang memantul dari jauh, namun tetap terdengar jelas. Tiba-tiba, udara di sekitar kami menjadi sangat dingin, jauh lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis mulai muncul, merayap dari dasar hutan, menyelimuti basecamp kami dalam sekejap.
Dari dalam kabut, kami mendengar suara bisikan yang tak jelas, seperti paduan banyak suara yang tumpang tindih, berulang-ulang menyebut nama Arya, bercampur dengan desisan dan tawa yang mengerikan. Aroma melati busuk itu kembali menyeruak, kali ini sangat kuat hingga membuat kami mual. Aku dan Rian saling berpandangan, ketakutan terpancar jelas di mata masing-masing.
"Nisa!" panggilku, mencoba meraihnya. Tapi Nisa seolah tak mendengar. Dia terus berdiri di sana, seperti boneka yang digerakkan, tangannya terulur, seolah mencoba meraih sesuatu di tengah kabut.
Tiba-tiba, bayangan hitam besar melintas cepat di antara pepohonan, tepat di tepi kabut. Bayangan itu terlalu besar untuk seekor binatang biasa, dan gerakannya terlalu cepat, terlalu senyap. Kami hanya sempat melihat sekilas, tapi cukup untuk membuat adrenalin kami melonjak. Itu bukan ilusi. Itu adalah sesuatu.
Nisa, yang tadinya diam, kini membuka matanya. Matanya memerah, dan ada tetesan air mata yang mengalir di pipinya. "Dia… mereka tidak mau Arya pergi," bisiknya, suaranya bergetar hebat. "Mereka… ingin menjebak Arya. Dan… mungkin juga kita."
Ketakutan itu kini bukan lagi sekadar firasat, melainkan kepastian yang dingin dan menusuk. Ada sesuatu yang tidak terlihat, yang jahat, yang bersembunyi di rimba ini, dan entitas itu telah mencengkeram Arya. Dan sekarang, aroma melati busuk, jejak kaki gaib, dan bisikan-bisikan dari dunia lain itu adalah cara mereka untuk menarik kami lebih dalam, lebih dekat, ke dalam lorong kebingungan yang mengerikan ini. Kami tahu, petunjuk dari Nisa bukan lagi sekadar firasat, melainkan sebuah panggilan dari dimensi lain, yang mungkin saja akan menyeret kami menuju nasib yang sama dengan Arya.