Buku Harian Kuno dan Mantra Terlarang ( Horor - Part 4 )

Arv
By -
0


Ketegangan di tepi Danau Angker memuncak. Sosok wanita berbaju putih yang melayang di tengah kabut telah lenyap, tertelan pusaran samar di atas air. Nisa, dengan tatapan matanya yang penuh keyakinan, akhirnya berhasil meyakinkanku dan Rian untuk mendekati tepi danau. Meskipun rasa takut mencekik, dorongan untuk menemukan Arya jauh lebih kuat. Atau mungkin, kami sudah terlalu jauh masuk ke dalam misteri ini sehingga mundur bukanlah pilihan.

Saat kami perlahan mendekati danau, kabut tebal menyelimuti kami, membuat pandangan terbatas. Dingin yang menusuk terasa semakin dalam, seolah kami melangkah ke dunia yang berbeda. Nisa tiba-tiba berhenti. Matanya menyapu tebing curam di seberang danau, yang terlihat samar-samar di balik kabut.

"Ada sesuatu di sana," bisiknya, suaranya pelan tapi tegas. "Sebuah celah. Aku merasakannya."

Dengan hati-hati, kami menuruni tepi danau yang licin dan mencari jalan memutar. Butuh waktu cukup lama, merangkak di antara bebatuan dan akar pohon yang mencengkeram tanah. Kabut membuat segalanya terasa lebih sulit, dan setiap suara kecil, bahkan desiran angin, terdengar seperti bisikan menakutkan. Akhirnya, kami sampai di bawah tebing yang ditunjuk Nisa. Di sana, tersembunyi di balik rimbunnya semak belukar dan lumut yang tebal, terkuaklah sebuah celah sempit di tebing batu, tampak seperti mulut gua yang gelap dan menakutkan.

Aroma melati busuk kembali menyeruak, kali ini lebih pekat, seolah-olah bau itu adalah penjaga gua tersebut. Aku dan Rian saling pandang, keraguan tercetak jelas di wajah kami. Gua ini terlihat… tidak mengundang. Namun Nisa, tanpa ragu, sudah melangkah masuk.

"Arya… dia ada di dekat sini," gumamnya.

Dengan senter di tangan, kami mengikuti Nisa masuk ke dalam gua. Udara di dalamnya pengap dan lembap, bercampur dengan bau tanah basah dan sesuatu yang aneh, seperti bau kayu lapuk dan benda tua yang sudah lama terkubur. Senter kami menyapu dinding gua yang kasar, memperlihatkan batuan gelap yang ditutupi lumut. Gua itu tidak terlalu dalam, dan tak lama kemudian, kami sampai di sebuah ceruk kecil.

Di sana, di tengah ceruk, tergeletak sesuatu. Bukan kerangka, bukan benda-benda ritual mengerikan, melainkan sebuah peti kayu kecil yang sudah lapuk, diselimuti tanah dan akar-akar pohon yang menembus celahnya. Peti itu tampak seperti sudah terkubur selama puluhan, bahkan ratusan tahun.

Rian, yang tadinya tegang, kini matanya membulat. "Apa ini?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.

Nisa mendekat, berlutut di samping peti. Dengan tangan gemetar, dia menyingkirkan akar-akar yang melilit. Begitu penutup peti terbuka, debu dan aroma lama langsung menyergap hidung kami. Di dalamnya, terbaring rapi sebuah buku harian kuno yang sudah sangat usang, sampulnya dari kulit yang mengering dan halamannya menguning. Selain itu, ada beberapa benda kecil lain: sebuah kalung liontin berbentuk matahari, dan sebuah botol kecil berisi cairan kental berwarna merah gelap.

"Buku harian?" gumamku, mengambilnya dengan hati-hati. Kertasnya rapuh, hampir hancur di sentuhan.

Nisa langsung meraih buku itu. Dia membuka halaman pertama, matanya bergerak cepat membaca tulisan tangan yang samar. "Ini… ini catatan seseorang," katanya, "tentang gunung ini."

Kami mendekat, mencoba membaca tulisan yang hampir pudar itu. Meskipun sulit, beberapa kata kunci dan frasa berhasil kami tangkap. Buku itu ditulis oleh seseorang bernama Ki Rana, seorang pertapa yang hidup di Rajawali berabad-abad lalu. Catatannya bukan sekadar ekspedisi, melainkan pengamatan mendalam tentang energi gaib gunung ini.

Ki Rana menulis tentang "garis-garis energi" yang bertemu di Rajawali, menciptakan "titik-titik lemah" antara dunia manusia dan dunia lain. Dia menjelaskan bagaimana beberapa tempat di gunung ini, termasuk Danau Angker, adalah "gerbang" yang dapat terbuka pada waktu-waktu tertentu. Dan yang paling mengerikan, dia menulis tentang "penunggu rimba", entitas-entitas kuno yang berdiam di sana, bukan sebagai hantu biasa, tapi sebagai penjaga keseimbangan yang rapuh, atau mungkin, penjaga rahasia yang mengerikan.

Nisa membalik halaman dengan hati-hati. "Ini… ini tentang kutukan gunung," bisiknya, suaranya penuh ketegangan.

Catatan Ki Rana menyebutkan bahwa pada masa lalu, ada sebuah suku yang hidup di kaki gunung ini. Mereka melakukan ritual pengorbanan besar untuk menenangkan "penunggu rimba" agar hasil panen melimpah dan tidak ada bencana. Namun, suatu ketika, ritual itu gagal. Entah karena pengorbanan yang tidak sesuai, atau karena ada campur tangan dari pihak luar, keseimbangan itu rusak. "Penunggu rimba" menjadi murka, dan sebagai akibatnya, kutukan menimpa gunung itu.

"Kutukan ini… bukan hanya tentang kesialan," Nisa melanjutkan membaca, matanya terpaku pada baris-baris tertentu. "Tapi tentang 'memanggil kembali apa yang diambil'. Setiap kali keseimbangan terganggu, atau ada sesuatu yang 'masuk' tanpa izin, entitas-entitas itu akan menarik jiwa sebagai tumbal untuk mengembalikan keseimbangan."

Jantungku berdebar tak karuan. Rian menelan ludah dengan susah payah. Pengorbanan? Menarik jiwa? Apakah Arya menjadi korban dari kutukan kuno ini? Apakah keberadaan kami di sini, di tempat terlarang ini, sudah mengganggu "keseimbangan" yang dimaksud Ki Rana?

Nisa membalik halaman terakhir buku harian itu. Di sana, tertulis dengan tinta yang lebih tebal dan jelas, sebuah mantra terlarang. Mantra itu, Ki Rana jelaskan, adalah kunci untuk membuka atau menutup gerbang antara dua dunia. Sebuah peringatan keras menyertainya: 'Jangan pernah mengucapkan mantra ini kecuali dalam keadaan paling mendesak, dan jangan pernah menggunakannya untuk tujuan yang egois, karena gerbang yang terbuka mungkin tidak akan pernah tertutup lagi, dan apa yang masuk mungkin tidak akan pernah pergi.'

Mantra itu ditulis dalam aksara kuno yang aneh, penuh simbol-simbol yang kami tidak mengerti, tapi Ki Rana menyertakan terjemahan samar di bawahnya. Itu adalah mantra pemanggilan, namun bukan untuk memanggil arwah secara harfiah, melainkan untuk "memanggil kembali" sesuatu yang telah melewati batas, atau untuk "mengembalikan" sesuatu yang telah ditarik ke dimensi lain.

Tiba-tiba, senter kami mulai berkedip-kedip. Udara di dalam gua terasa semakin dingin. Aroma melati busuk itu kini begitu menyengat, membuat kami mual dan pusing. Dari celah-celah kecil di dinding gua, terdengar bisikan-bisikan samar yang makin lama makin jelas, seolah mereka tahu apa yang sedang kami baca. Suara-suara itu bukan lagi bisikan angin, melainkan campuran rintihan, tangisan, dan desisan mengerikan yang berasal dari banyak mulut.

Nisa mengabaikan semua itu. Matanya berbinar, menatap mantra di buku harian. "Ini… ini kuncinya!" serunya, suaranya bergetar antara ketakutan dan harapan. "Kita bisa membawa Arya kembali! Mantra ini bisa menariknya keluar!"

Rian menarik napas dalam-dalam. "Nis, itu berbahaya. Ki Rana sendiri memperingatkan. Kalau kita salah, kita bisa membuka sesuatu yang lebih parah."

"Tapi bagaimana kalau ini satu-satunya cara?" Nisa membalas, tatapannya beralih dari buku ke arah kami. "Bagaimana kalau Arya terjebak di sana, disiksa oleh mereka? Kita tidak bisa meninggalkannya."

Pikiranku berpacu. Apakah Arya menjadi korban dari kutukan kuno yang menuntut tumbal jiwa? Atau apakah dia secara tidak sengaja menginjak "titik lemah" dan terjebak dalam lingkaran misteri yang telah lama terkubur, menunggu untuk diungkapkan oleh orang-orang yang berani? Buku harian Ki Rana ini adalah jawaban sekaligus jebakan. Ini menawarkan harapan, namun diiringi dengan peringatan mengerikan.

Dan sekarang, di tengah gua yang gelap, dikelilingi bisikan-bisikan dari entitas tak terlihat, kami dihadapkan pada pilihan sulit: percaya pada peringatan Ki Rana dan kembali, atau mencoba mantra terlarang itu, mempertaruhkan segalanya untuk membawa Arya kembali, dan mungkin, membuka pintu neraka yang tak akan bisa ditutup kembali?

Tags:

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Out
Ok, Go it!