Sang Penunggu Danau Angker ( Horor-Part 3 )

Arv
By -
0


Setelah malam mencekam yang diselimuti bisikan tak jelas dan penampakan samar bayangan hitam, keberadaan Nisa makin tak terbantahkan. Firasatnya, kepekaannya, semua terasa seperti kompas gaib yang menarik kami lebih dalam ke jantung misteri Rajawali. Pagi itu, mata kami sembab, bukan hanya karena kurang tidur, tapi juga karena bayangan ketakutan yang terus membayangi. Aroma melati busuk masih sesekali tercium, seolah mengejek, mengingatkan kami bahwa Arya memang tidak sendiri di "dunia lain" itu.

Nisa, dengan raut wajah serius, menunjuk ke arah peta gunung yang sudah lusuh. Jarinya berhenti di sebuah titik terpencil, agak jauh dari jalur pendakian umum, danau kecil yang disebut Danau Angker. "Arya… dia di sana," bisiknya pelan, tatapannya kosong. "Aku melihatnya. Samar-samar, tapi dia memanggil dari sana."

Rian mengerutkan kening. "Danau Angker? Nis, itu cuma mitos. Lagipula, jalurnya susah, hampir nggak ada yang ke sana."

"Justru itu," sahut Nisa, suaranya lebih tegas dari biasanya. "Tempat yang tersembunyi, tempat yang tidak banyak dijamah. Itu tempat di mana batas antara dunia kita dan mereka menjadi tipis. Bisikan-bisikan itu, jejak kaki itu… semuanya mengarah ke sana."

Meskipun logika kami berteriak menolak, ada sesuatu dalam sorot mata Nisa yang membuat kami tak bisa membantah. Ketakutan kami besar, tapi keinginan untuk menemukan Arya jauh lebih besar. Dengan sisa-sisa keberanian, kami memutuskan mengikuti Nisa. Perbekalan seadanya kami siapkan, tenda kami biarkan berdiri, sebagai penanda jika memang ada yang mencari kami nantinya.

Perjalanan menuju Danau Angker adalah neraka. Jalurnya tidak jelas, kami harus menerobos semak belukar yang lebat dan mendaki bukit-bukit terjal yang licin. Hutan semakin sunyi, suara-suara binatang menghilang, seolah alam itu sendiri menahan napas, tahu bahwa kami sedang melangkah ke wilayah yang tidak seharusnya. Kabut mulai turun, awalnya tipis, lalu makin menebal, membuat jarak pandang terbatas hanya beberapa meter di depan kami. Bau tanah basah bercampur dengan aroma lumut yang aneh.

Setelah berjam-jam berjalan dalam ketegangan yang mencekik, kami mulai mendengar suara gemericik air yang samar. Itu pasti Danau Angker. Detak jantungku makin cepat. "Kita sampai," gumamku.

Ketika kami menembus batas pepohonan terakhir, pemandangan di depan kami membuat napas tertahan. Danau itu, diselimuti kabut tebal yang melayang di atas permukaannya, tampak seperti cermin buram yang memantulkan kesunyian. Pepohonan raksasa mengelilinginya, siluet mereka samar-samar terlihat seperti raksasa-raksasa yang sedang berjaga. Suasana mistis dan mencekam begitu kuat, seolah danau itu adalah gerbang ke dimensi lain, persis seperti yang Nisa katakan.

"Ini… gila," desis Rian, suaranya bergetar. "Aku belum pernah merasakan energi sekuat ini."

Nisa tidak merespons. Matanya menyapu permukaan danau yang berkabut, seolah mencari sesuatu. Tiba-tiba, dia terkesiap. Tangannya terangkat, menunjuk ke tengah danau.

"Lihat!" bisiknya, suaranya tertahan.

Kami mengikuti arah pandang Nisa. Di tengah kabut tebal yang menari-nari di atas air, samar-samar, sesosok bayangan putih mulai terbentuk. Awalnya hanya siluet tipis, tapi perlahan, wujudnya semakin jelas. Itu adalah sosok wanita berbaju putih panjang, rambutnya terurai, melayang sedikit di atas permukaan air. Dia tidak memiliki wajah yang jelas, hanya sebuah bayangan buram, tapi dia… dia melambaikan tangan ke arah kami. Perlahan, seperti gerakan memanggil.

Jantungku rasanya langsung jatuh ke perut. Rian langsung menarik napas, matanya membelalak ketakutan. "S-s-siapa itu?" gagapnya.

Nisa tidak menjawab. Dia hanya menatap sosok itu, terpaku. "Itu… dia," bisiknya lagi, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia memanggil Arya. Dia mencoba memberitahu kita sesuatu."

Logika kami berteriak untuk lari. Otak kami memerintahkan untuk tidak mendekat. Sosok itu terlalu menyeramkan, terlalu irasional. Ini adalah penampakan hantu yang nyata, bukan sekadar cerita seram di api unggun. Bau melati busuk itu kembali muncul, kali ini lebih pekat, seolah berasal langsung dari sosok wanita di danau itu.

"Nis, jangan gila!" Rian menarik lengan Nisa, mencoba menjauhkannya. "Itu… itu bukan petunjuk. Itu jebakan! Penunggu danau yang diceritakan orang-orang!"

Tapi Nisa bergeming. Dia menepis tangan Rian. "Bukan. Aku yakin bukan. Dia… dia punya pesan. Arya ada di sana, di balik kabut itu. Wanita itu tahu."

Sosok wanita berbaju putih itu terus melambaikan tangan, gerakannya lambat, namun penuh makna, seolah mendesak kami untuk mendekat. Suara bisikan-bisikan samar mulai terdengar lagi, bercampur dengan desiran angin di antara pepohonan. Kali ini, bisikan itu seolah mengolok-olok ketakutan kami, atau justru mendorong kami untuk mengikuti panggilan sosok putih itu.

Aku berdiri di antara keduanya, di ambang dilema. Naluri survival-ku menjerit untuk lari sekencang-kencangnya dari tempat terkutuk ini. Tapi di sisi lain, wajah Arya terbayang jelas di benakku, dan keyakinan Nisa yang begitu kuat membuatku bertanya-tanya. Bagaimana jika dia benar? Bagaimana jika sosok mengerikan itu, bukannya musuh, justru adalah kunci untuk membawa Arya kembali?

Kabut di atas danau mulai bergerak, berputar perlahan, membentuk semacam corong samar yang seolah menelan sosok wanita putih itu. Sensasi dingin yang luar biasa menyelimuti kami, bukan dinginnya suhu udara, melainkan dingin yang menusuk jiwa, seperti sentuhan dari alam kematian.

"Kita harus mendekat," kata Nisa, langkahnya sudah condong ke arah danau. "Ini satu-satunya jalan."

Rian tampak ngeri. Wajahnya pucat pasi, matanya penuh ketakutan. "Aku nggak bisa, Nis. Ini terlalu gila. Aku nggak mau jadi korban selanjutnya."

Aku menatap Danau Angker yang diselimuti kabut, lalu ke wajah Nisa yang penuh keyakinan, dan akhirnya ke wajah Rian yang ketakutan. Dilema ini sungguh membunuhku. Apakah sosok itu adalah arwah penunggu danau yang haus korban, ataukah petunjuk yang Nisa yakini akan membuka tabir misteri hilangnya Arya?

Yang jelas, Danau Angker telah menunjukkan sisi gelapnya. Kami berada di persimpangan jalan antara akal sehat dan intuisi mistis Nisa. Pertanyaan yang menggantung adalah: apakah kami akan menyerah pada ketakutan kami, ataukah kami akan melangkah lebih jauh ke dalam misteri yang mungkin akan menjebak kami selamanya di dalam kabut Danau Angker?

Tags:

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Out
Ok, Go it!