Terjebak di Dimensi Lain ( Horor - Part 5 )

Arv
By -
0


Keputusan telah dibuat. Setelah perdebatan panjang dan ketakutan yang mencekik, keyakinan Nisa, didukung oleh desakan batin yang kuat untuk menemukan Arya, akhirnya mengalahkan keraguan kami. Buku harian Ki Rana, dengan segala peringatan menakutkannya, adalah satu-satunya harapan kami. Kami tahu, ini adalah langkah gila, sebuah taruhan besar yang bisa membuat kami terjebak selamanya di Gunung Rajawali yang penuh misteri.

Nisa memegang erat buku harian itu, matanya terpaku pada mantra terlarang di halaman terakhir. Aroma melati busuk semakin pekat di dalam gua, membuat udara terasa berat dan menyesakkan. Bisikan-bisikan samar yang sebelumnya hanya desisan kini terdengar lebih jelas, seolah mereka tahu apa yang akan kami lakukan. Ada tawa serak, rintihan pilu, dan gumaman yang tak bisa dimengerti, semuanya bercampur menjadi orkestra horor yang menggetarkan jiwa.

"Kita akan melakukannya," kata Nisa, suaranya mantap meskipun bibirnya sedikit bergetar. "Tapi kita harus hati-hati. Kita hanya akan memanggil Arya, tidak yang lain."

Rian mengangguk kaku, wajahnya pucat pasi. Aku sendiri merasa perutku melilit, tapi aku tahu tidak ada jalan mundur. Kami sudah terlalu jauh.

Kami keluar dari gua, kembali ke tepi Danau Angker yang masih diselimuti kabut tebal. Nisa memilih sebuah titik di tepi danau yang, menurutnya, terasa memiliki energi paling kuat—sebuah lingkaran batu-batu kecil yang tersembunyi di balik semak belukar. Di tempat itu, bau melati busuk terasa paling menyengat, dan hawa dingin tak wajar membuat bulu kuduk meremang.

Nisa mulai membaca mantra itu. Kata-kata kuno, terdengar asing dan berat, meluncur dari bibirnya. Suaranya terdengar seperti gaung, mengisi kesunyian danau. Setiap suku kata yang dia ucapkan terasa seperti membelah udara, membuka tabir yang tak terlihat. Semakin lama dia membaca, semakin aneh fenomena yang terjadi di sekitar kami.

Kabut di atas danau mulai berputar lebih cepat, membentuk sebuah pusaran raksasa yang bergerak perlahan menuju langit. Air danau yang tadinya tenang, kini beriak-riak seolah ada sesuatu yang bergolak di bawah permukaannya. Pohon-pohon di sekitar kami bergoyang hebat, meskipun tidak ada angin. Dan yang paling mengerikan, suara-suara dari dalam hutan itu semakin keras dan jelas. Kini kami bisa membedakan tangisan, raungan, dan jeritan yang tak terhingga, seolah semua arwah yang terperangkap di gunung itu sedang bereaksi terhadap mantra yang diucapkan Nisa.

Tiba-tiba, di tengah pusaran kabut di atas danau, sebuah retakan spasial mulai terlihat. Awalnya hanya kilatan cahaya biru pucat, kemudian membesar, membentuk sebuah celah vertikal yang memancarkan cahaya redup. Itu adalah portal, sebuah gerbang menuju dimensi lain, persis seperti yang tertulis di buku harian Ki Rana. Aroma melati busuk itu kini tak tertahankan, bercampur dengan bau gosong yang aneh.

"Terbuka!" teriak Nisa, matanya membelalak. "Cepat!"

Tanpa berpikir panjang, Nisa melangkah maju, tangannya terulur ke arah portal. Aku dan Rian sempat ragu, tapi melihat Nisa yang sudah separuh masuk ke dalamnya, kami tidak punya pilihan. Kami melompat masuk, merasakan sensasi aneh yang tak bisa dijelaskan: seperti ditarik dengan kekuatan tak terlihat, udara di sekitar kami berputar, dan segala sesuatu terasa melebur menjadi satu.

Ketika sensasi itu mereda, kami menemukan diri kami berdiri di sebuah tempat yang asing, namun terasa sangat familiar. Ini adalah hutan yang sama, pepohonan yang sama, bahkan rasanya tanah yang kami pijak pun sama. Namun, ada yang berbeda. Segalanya terlihat lebih gelap, lebih suram, seolah warna-warna telah pudar. Pepohonan tampak layu, tak ada suara burung, hanya keheningan yang menekan dan dingin yang menusuk. Ini adalah dimensi yang sama, namun di sisi yang berbeda.

Danau Angker di dimensi ini tampak lebih mengerikan. Airnya hitam pekat, memantulkan bayangan samar pepohonan yang terlihat seperti tulang-tulang raksasa. Kabut yang menyelimutinya terasa lebih tebal, dan dari dalamnya, terdengar suara-suara lirih yang membuat bulu kuduk merinding.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan yang tampak mati, sosok-sosok mulai muncul. Mereka tidak berjalan, melainkan melayang perlahan, seperti kabut yang bergerak. Wujud mereka samar, transparan, namun jelas terlihat sebagai arwah-arwah gentayangan. Ada yang mengenakan pakaian kuno, ada yang seperti penduduk biasa, bahkan ada yang terlihat seperti pendaki gunung. Wajah mereka kosong, mata mereka cekung, dan mereka semua bergerak tanpa suara, kecuali desisan dan rintihan yang sesekali terdengar. Mereka tampak terperangkap, mengulang-ulang gerakan tak berarti.

Jantungku berpacu kencang. Ini bukan sekadar mitos, ini adalah kenyataan paling mengerikan yang pernah kami alami. Kami benar-benar berada di antara arwah.

"Arya!" teriak Nisa, suaranya bergetar.

Mendengar nama itu, salah satu sosok transparan di kejauhan, yang terlihat lebih familiar, tiba-tiba berhenti. Sosok itu berbalik perlahan. Itu Arya! Wujudnya sama samar seperti yang lain, tapi aku bisa mengenali tinggi badannya, postur tubuhnya, bahkan jaketnya yang sedikit lusuh. Matanya, meski cekung, tampak memancarkan secercah kesadaran.

"A… Arya?" panggilku, suaraku tercekat.

Arya mengulurkan tangannya, seolah ingin meraih kami. Mulutnya bergerak, berusaha mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya desisan samar. Dia tampak putus asa, ingin sekali berkomunikasi.

Namun, saat Arya mencoba mendekat, beberapa arwah lain tiba-tiba bergerak cepat, melayang di sekelilingnya, seolah membentuk sebuah dinding tak kasat mata. Mereka memancarkan aura dingin yang luar biasa, dan suara-suara rintihan mereka semakin keras, membentuk semacam peringatan. Arwah-arwah itu menatap kami dengan tatapan kosong, namun ada semacam kemarahan yang terpancar dari mata mereka yang cekung. Mereka seolah tidak ingin rahasia dimensi ini terbongkar, tidak ingin Arya diselamatkan.

Nisa mencoba melangkah mendekat, tapi Rian menahannya. "Nis, tunggu! Mereka nggak mau Arya pergi!"

"Mereka mau menjebak kita semua di sini!" balasku, ketakutan mulai merasuki akal sehatku.

Arwah-arwah penjaga itu semakin mendekat, lingkaran mereka di sekitar Arya semakin rapat. Arya sendiri terlihat semakin panik, dia mencoba melawan, tapi tubuh transparan itu tidak berdaya. Dia terus menatap kami, tatapan matanya memohon, seolah berkata: selamatkan aku.

Misteri di balik hilangnya Arya kini terkuak. Dia tidak hilang, tapi terperangkap. Dan bukan hanya dia, ada banyak jiwa lain yang juga terjebak di dimensi kelabu ini. Kami telah membuka gerbang, menemukan Arya, tapi kini kami berhadapan langsung dengan para penjaga dunia ini, entitas-entitas yang tidak ingin ada yang keluar. Pertanyaan yang muncul kini bukan lagi bagaimana Arya terjebak, melainkan bagaimana kami bisa membawa Arya kembali, dan yang lebih penting, bagaimana kami bisa keluar dari tempat terkutuk ini hidup-hidup?

Tags:

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Out
Ok, Go it!