Kembali dari Ambang Batas ( Horor - Part 7 )

Arv
By -
0


Udara pagi di Gunung Rajawali, yang seharusnya terasa segar dan menenangkan, kini terasa dingin dan mencekam. Kami berhasil membawa Arya kembali. Ia terbaring di tanah tepi Danau Angker, terengah-engah, tubuhnya bergetar. Wujudnya sudah padat, nyata, bukan lagi bayangan samar seperti di dimensi kelabu itu. Aku dan Rian segera menghampirinya, Nisa sudah lebih dulu memeluk Arya, air mata mengalir deras di pipinya.

"Arya! Lo balik!" seru Rian, suaranya pecah karena haru dan kelegaan.

Kami menepuk-nepuk punggungnya, memastikan dia benar-benar ada di sini. Arya batuk-batuk, berusaha mengambil napas. Perlahan, matanya terbuka. Aku menatapnya penuh harap, menantikan kilatan familiar dari mata petualang yang kami kenal. Namun, yang kudapati hanyalah kekosongan. Matanya memandang ke kejauhan, seolah tidak fokus pada kami, pada dunia nyata ini. Ada semacam selaput tak terlihat yang menyelimuti tatapannya, menjadikannya asing.

"Arya, lo nggak apa-apa?" tanyaku pelan.

Arya tidak menjawab. Bibirnya bergerak-gerak, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi yang keluar hanyalah gumaman-gumaman tak jelas, samar seperti bisikan angin yang lewat. Ada desisan-desisan aneh bercampur di dalamnya, seolah bukan Arya yang berbicara, melainkan suara lain yang menumpang di tenggorokannya. Bulu kudukku kembali merinding.

Meskipun Arya sudah kembali secara fisik, rasanya sebagian dari dirinya masih tertinggal di dimensi lain itu. Kami membopongnya kembali ke basecamp utama kami, perjalanan terasa lebih berat karena beban di hati kami. Kami menyelimutinya dengan selimut hangat, Rian menyiapkan minuman herbal untuknya. Sepanjang malam itu, Arya tidak sadarkan diri, sesekali merintih dalam tidurnya, atau tiba-tiba duduk tegak dengan mata melotot ke arah kegelapan, seolah melihat sesuatu yang tidak kami lihat.

Pagi harinya, tim SAR datang lagi, mencari kami. Kami menjelaskan bahwa Arya sudah ditemukan, meskipun kami memilih untuk tidak menceritakan detail mengerikan tentang dimensi lain atau arwah-arwah yang kami temui. Mereka mengira Arya hanya tersesat dan mengalami hipotermia parah serta syok akibat kejadian itu. Arya segera dievakuasi ke rumah sakit terdekat.

Beberapa minggu kemudian, Arya diperbolehkan pulang. Kami bergantian menjenguknya di rumahnya. Orang tuanya lega luar biasa, tapi kelegaan itu bercampur dengan kekhawatiran yang mendalam. Arya memang sudah kembali, tapi ia tidak sama.

Arya seringkali melamun, berjam-jam menatap kosong ke dinding atau ke luar jendela. Jika diajak bicara, responsnya lambat, dan seringkali jawabannya tidak nyambung, seolah pikirannya masih berkeliaran di tempat lain. Kadang, dia tiba-tiba tertawa sendiri tanpa sebab, tawa yang kering dan hambar, membuat kami merinding. Lebih sering lagi, ia berbicara sendiri, bisikan-bisikan lirih yang tidak bisa kami pahami, kadang disertai dengan gumaman aneh yang terdengar seperti bahasa asing.

"Dia sering bilang 'mereka tidak suka', atau 'dingin sekali'," cerita ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Dokter bilang dia trauma, tapi… ini lebih dari trauma."

Yang paling membuat kami khawatir adalah matanya. Mata Arya, yang dulu selalu memancarkan semangat dan kecerdasan, kini sering terlihat kosong, hampa, seolah-olah jiwanya tidak sepenuhnya berada di sana. Kadang, di saat-saat tertentu, tatapannya akan berubah tajam, dipenuhi ketakutan yang mendalam, seolah dia baru saja melihat kembali kengerian yang dia alami.

Nisa, yang paling peka di antara kami, seringkali duduk diam di samping Arya, mencoba merasakan apa yang dirasakan temannya itu. Suatu sore, saat Arya sedang melamun di teras rumahnya, Nisa tiba-tiba berbisik padaku.

"Dia… dia masih di sana," katanya pelan.

"Di mana?" tanyaku, bingung.

"Di antara. Sebagian dari dirinya masih terikat dengan dimensi itu. Makanya dia sering melamun, karena jiwanya masih melayang di sana. Bisikan-bisikan itu… mereka masih mengikutinya."

Aku terkesiap. Jadi, perjuangan kami belum selesai? Kami hanya berhasil membawa sebagian Arya kembali?

Kami mencoba berbagai cara. Membawanya ke psikolog, bahkan mencoba pengobatan alternatif. Namun, tidak ada yang benar-benar bisa mengembalikan Arya yang dulu. Ada hari-hari di mana ia terlihat sedikit lebih baik, lebih responsif, tapi kemudian ia akan kembali tenggelam dalam lamunannya, dihantui bisikan-bisikan yang tak kami dengar.

Malam hari adalah yang terburuk. Arya sering mengigau, berteriak-teriak dalam tidurnya, nama-nama yang tidak kami kenal, atau kata-kata yang tidak jelas. Aroma melati busuk, yang sempat hilang setelah kami keluar dari dimensi itu, kadang-kadang kembali tercium samar di kamar Arya, terutama saat dia sedang mengigau. Itu adalah pengingat mengerikan bahwa mereka masih di sana, mengawasinya, mungkin berusaha menariknya kembali.

Kisah Arya menjadi sebuah pelajaran pahit bagi kami. Kami telah berhasil menyelamatkannya dari cengkeraman fisik dimensi lain, namun kami tidak bisa menyelamatkan jiwanya sepenuhnya. Gunung Rajawali, dengan segala mitos dan kutukannya, telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan pada Arya. Ia memang kembali, namun dengan harga yang sangat mahal.

Kami sering bertemu, membahas apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Apakah ada cara untuk memutuskan ikatan Arya dengan dimensi itu? Apakah ada mantra lain, atau ritual lain, yang bisa menyembuhkannya? Atau apakah kami harus menerima kenyataan bahwa Arya akan selamanya hidup di antara dua dunia, dihantui oleh bisikan dari rimba terlarang, sebuah peringatan abadi akan bahaya yang bersembunyi di balik keindahan alam?

Fajar memang telah menyingsing, membawa kami keluar dari kegelapan hutan. Tapi bagi Arya, dan bagi kami yang menyaksikannya, fajar harapan itu belum sempurna. Misteri Gunung Rajawali mungkin telah terungkap, namun kutukannya masih terus hidup dalam diri Arya, sebuah bisikan tak berkesudahan dari ambang batas dunia lain.

Tags:

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Out
Ok, Go it!