Perjuangan Melawan Kekuatan Gelap ( Horor - Part 6 )

Arv
By -
0


Ketakutan yang kami rasakan di dimensi lain ini jauh melampaui apapun yang pernah kami bayangkan. Arya ada di depan mata kami, terperangkap, dan arwah-arwah gentayangan yang menjaganya memancarkan permusuhan yang dingin. Mereka membentuk lingkaran rapat di sekeliling Arya, desisan dan rintihan mereka memenuhi udara yang pengap. Ini bukan lagi sekadar pencarian, ini adalah pertarungan demi jiwa, demi hidup kami sendiri.

"Kita harus bawa Arya keluar!" teriak Nisa, matanya penuh tekad meskipun ada gurat ketakutan yang jelas di wajahnya. Dia mencoba melangkah maju, tapi Rian menahannya.

"Tunggu, Nis! Lihat mereka! Mereka nggak mau kita sentuh Arya," Rian berkata, suaranya gemetar. Arwah-arwah itu memang semakin agresif, bayangan mereka bergerak lebih cepat, mengelilingi Arya dengan putaran yang membuat pusing. Bau melati busuk semakin kuat, menusuk hidung dan membuat kami mual.

Arya, dalam wujud samar transparan, terus berusaha menjangkau kami. Mulutnya membuka dan menutup tanpa suara, namun tatapan matanya memohon pertolongan. Dia tampak kesakitan, seolah energi di dimensi ini menguras habis tenaganya. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, namun arwah-arwah penjaga itu terus menghalanginya.

"Mereka itu apa sih, Nis?" tanyaku, mencoba menguasai rasa panik.

"Penunggu rimba," jawab Nisa, napasnya tersengal. "Mereka terikat dengan gunung ini, dengan kutukan itu. Mereka tidak ingin ada yang mengganggu keseimbangan atau keluar dari sini. Arya… dia sudah jadi bagian dari mereka."

Tiba-tiba, salah satu arwah, yang paling besar dan tampak paling tua, melayang maju. Wujudnya lebih jelas dari yang lain, sebuah bayangan lelaki tua dengan janggut panjang, matanya cekung dan hitam pekat. Dari mulutnya yang menganga, bukan suara, melainkan aura dingin yang menusuk tulang melesat ke arah kami. Aku merasakan tubuhku lemas, seperti semua kekuatan dihisap keluar. Rasa takut itu bukan hanya emosi, tapi fisik, melumpuhkan.

Rian menjerit pelan, ambruk berlutut, tangannya memegangi kepala. "Sakit! Dingin sekali!"

Aku sendiri merasakan pening yang luar biasa, kepalaku berdenyut, dan bayangan-bayangan hitam mulai menari di tepi pandanganku. Ini adalah serangan spiritual, serangan yang menargetkan akal sehat dan jiwa kami. Arwah-arwah lain mulai bergerak, mengepung kami, bisikan-bisikan dan tawa serak mereka terdengar seperti jutaan jarum yang menusuk telinga.

Nisa, meskipun terlihat sama terpukulnya, entah dari mana ia mendapatkan kekuatan. Ia memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali, menatap tajam ke arah arwah-arwah itu. Dengan suara bergetar namun jelas, ia mulai melafalkan sesuatu. Bukan mantra dari buku harian, melainkan doa, atau mungkin, sebaris kalimat permohonan yang samar.

Begitu Nisa mulai berbicara, aura dingin dari arwah-arwah itu sedikit mereda. Mereka tampak terkejut, beberapa di antaranya mundur selangkah, desisan mereka berubah menjadi semacam erangan. Kesempatan ini tidak kami sia-siakan.

"Kita harus memaksakan jalan!" teriak Nisa. "Rian, pakai tracking polemu untuk memecah formasi mereka! Aku akan mencoba menarik Arya!"

Ide itu gila. Tracking pole dari logam tak akan bisa menyentuh arwah. Tapi dalam kepanikan, kami tak punya pilihan lain. Rian, yang masih gemetar, bangkit. Dengan sisa tenaga, dia mengayunkan tracking pole-nya ke arah arwah yang paling dekat. Tentu saja, pole itu menembus bayangan mereka tanpa efek fisik. Namun, ada semacam riak energi yang terpancar dari gerakan itu, dan arwah yang dilewati Rian menjerit pelan, lalu mundur seolah kesakitan.

Ternyata, tracking pole itu bukan senjata fisik, melainkan perpanjangan dari niat dan keberanian kami. Setiap ayunan, setiap gerak maju yang kami lakukan, meskipun hanya simbolis, memancarkan energi yang mampu menggoyahkan formasi arwah-arwah itu. Mereka terkejut, seolah tak menyangka manusia bisa melawan di dimensi mereka.

Nisa melihat celah itu. Ia berlari menerobos, melewati arwah-arwah yang kini bergerak tak beraturan. Dia tidak peduli dengan aura dingin yang menusuknya, atau bisikan-bisikan jahat yang mencoba meruntuhkan mentalnya. Fokusnya hanya satu: Arya.

Ketika Nisa berhasil mencapai lingkaran tempat Arya terperangkap, arwah-arwah penjaga yang tadi melingkarinya langsung menyerang Nisa. Mereka menerjangnya, seolah ingin menembus tubuhnya. Nisa terhuyung, tapi ia tetap berdiri tegak. Dengan sekuat tenaga, ia meraih tangan Arya yang samar.

"Pulang, Arya! Pulanglah!" teriak Nisa, suaranya penuh keputusasaan.

Begitu sentuhan Nisa menyentuh tangan Arya, sebuah ledakan energi tak terlihat terpancar dari mereka berdua. Arya menjerit, bukan jeritan sakit, melainkan jeritan kelegaan yang campur aduk. Wujudnya berkedip-kedip, seolah ditarik dari dua arah yang berbeda. Arwah-arwah penjaga itu meraung marah, menyerang Nisa dengan kekuatan penuh. Mereka tidak ingin Arya pergi.

Aku dan Rian bergegas membantu. Kami tak punya senjata, tapi kami menggunakan keberanian kami sebagai perisai. Kami berteriak, menendang udara, mencoba mengusir arwah-arwah yang mengerubungi Nisa dan Arya. Setiap teriakan, setiap gerakan, meski tak menyentuh fisik mereka, terasa seperti guncangan yang mengganggu ketenangan mereka.

Salah satu arwah melesat ke arahku, bayangan hitamnya menembus dadaku. Rasa dingin yang luar biasa menjalari tubuhku, dan aku merasakan semua energi vitalku seperti tersedot. Aku terhuyung, nyaris jatuh, pandanganku gelap sesaat. Tapi aku melihat wajah Arya, tatapan matanya yang memohon, dan semangat itu entah bagaimana membangkitkan kekuatanku. Aku mengerang, mendorong arwah itu menjauh dengan sekuat tenaga, meskipun tak ada kontak fisik. Arwah itu menjerit nyaring dan melayang menjauh.

"Jangan menyerah!" teriak Rian, suaranya serak. Dia juga terlihat kelelahan, tapi matanya memancarkan tekad yang kuat.

Nisa terus menarik Arya. Perlahan tapi pasti, Arya mulai bergerak. Wujudnya berkedip semakin cepat, seolah sedang bertransisi antara dua dimensi. Arwah-arwah penjaga itu, yang tadinya dominan, kini tampak mulai melemah. Teriakan dan rintihan mereka terdengar lebih putus asa, seolah kekuatan mereka terkuras. Sepertinya, kehadiran kami, energi hidup kami, mengganggu mereka.

"Portalnya! Dia mulai tertutup!" teriak Rian, menunjuk ke arah celah spasial yang mulai mengecil di kejauhan, kembali ke tempat kami masuk tadi. Cahaya biru pucatnya mulai meredup.

Kami tahu, ini kesempatan terakhir kami. Nisa menarik Arya sekuat tenaga, menyeretnya melewati arwah-arwah yang masih mencoba menghalangi. Arya, yang tadinya tak berdaya, kini seolah ikut menarik dirinya sendiri, seperti ada ikatan tak terlihat yang menariknya kembali ke dunia kami.

Dengan langkah terseok-seok, kami bertiga—atau lebih tepatnya, kami berdua dan sosok Arya yang samar—berlari menuju portal yang makin mengecil. Arwah-arwah penjaga itu meluncur di belakang kami, berusaha meraih, mencengkeram. Aku bisa merasakan napas dingin mereka di tengkukku, dan aroma melati busuk itu kini tak hanya menusuk hidung, tapi juga terasa seperti membakar paru-paruku.

Satu langkah lagi. Nisa dan Arya sudah melewati ambang portal, setengah tubuh mereka sudah berada di sisi lain. Aku dan Rian melompat bersamaan, tepat sebelum celah itu menutup sepenuhnya.

Sensasi ditarik dan diputar kembali terasa. Kemudian, keheningan. Bukan keheningan yang dingin, melainkan keheningan rimba yang sesungguhnya. Aku terengah-engah, tubuhku terasa remuk. Aku menoleh.

Kami sudah kembali. Di tepi Danau Angker yang berkabut, di depan gua tersembunyi itu. Dan Arya…

Dia terbaring di tanah, di samping Nisa dan Rian, terengah-engah, napasnya berat. Wujudnya sudah padat, bukan lagi samar. Dia kembali. Dia berhasil kembali ke dunia kami.

Namun, ketika mataku bertemu dengan mata Arya, ada sesuatu yang berbeda. Matanya kosong, tidak fokus, dan ada tatapan jauh di sana, seolah sebagian dari dirinya masih tertinggal di dimensi lain. Tubuhnya bergetar, dan ia terlihat sangat lemah. Perjuangan itu memang telah memenangkan Arya kembali, tapi kami tahu, itu bukanlah akhir dari segalanya. Pertarungan jiwa ini mungkin telah usai, namun bekasnya akan menghantui kami selamanya, dan terutama, menghantui Arya. Kami telah melarikan diri dari cengkeraman hantu, namun harga yang kami bayar mungkin lebih besar dari yang kami kira.

Tags:

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Out
Ok, Go it!