Malam-Malam di Antara Mereka: 7 Kisah Horor Nyata yang Bikin Merinding

Arv
By -
0

Malam-Malam di Antara Mereka: 7 Kisah Horor Nyata yang Bikin Merinding. Siap-siap merinding! Ini dia 7 kisah horor nyata dari berbagai sudut Indonesia yang dijamin bikin kamu tidur nyenyak... atau malah nggak bisa tidur sama sekali. Dengan gaya bahasa santai, kami ajak kamu merasakan langsung kengerian yang dialami para korban. Berani baca sampai habis?


1. Suara Misterius di Rumah Kosong (Kisah Rina)

Rina, seorang mahasiswi rantau di Yogyakarta, awalnya tak pernah percaya hal-hal mistis. Baginya, semua hanyalah sugesti atau kebetulan semata. Namun, pengalaman yang ia alami di sebuah rumah kos di daerah Gejayan mengubah pandangannya 180 derajat.

Kos yang ditempati Rina dulunya adalah rumah lama yang sudah beberapa kali direnovasi. Letaknya agak masuk gang, tapi lingkungannya cukup ramai. Rina memilih kamar di lantai dua yang paling ujung, dekat dengan jendela yang menghadap ke kebun belakang. Kamar itu lumayan luas, dan harganya pas di kantong mahasiswa sepertinya. Awal-awal tinggal di sana, semua terasa normal. Rina sibuk dengan kuliah dan organisasi, jarang sekali berada di kos sendirian.

Kejadian aneh pertama kali terjadi saat libur semester. Hampir semua penghuni kos pulang kampung, menyisakan Rina dan beberapa teman lain yang memilih tetap di Jogja. Malam itu, Rina sedang mengerjakan tugas akhir di kamarnya. Sekitar pukul 2 dini hari, suasana kos sangat sepi. Hanya terdengar suara jangkrik dan sesekali deru motor lewat. Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki dari lantai bawah. Suaranya cukup jelas, seperti ada seseorang yang berjalan perlahan dari ruang tamu menuju dapur. Rina berpikir itu mungkin salah satu temannya yang belum tidur, atau mungkin salah satu kosan lain yang baru pulang. Tapi anehnya, langkah kaki itu berhenti tepat di bawah tangga, lalu henti. Ia mencoba mengabaikannya, fokus kembali ke laptop.

Tidak lama kemudian, suara itu muncul lagi, kali ini lebih dekat. Seolah-olah ada yang bergerak di tangga, menaiki satu per satu anak tangga dengan sangat pelan. Jantung Rina mulai berdebar. Siapa yang akan naik tangga sepelan itu di tengah malam? Ia mencoba memanggil nama teman-temannya satu per satu, "Dina? Nita? Luqman?" Tidak ada jawaban. Suara langkah kaki itu terus berlanjut, semakin mendekat ke kamarnya. Rina mulai merasa takut. Ia mematikan lampu kamar, berharap suara itu akan berhenti.

Namun, tidak berhenti. Kali ini, suara itu seperti menyeret sesuatu di lantai, mendekat ke pintu kamarnya. Rina membenamkan dirinya di balik selimut, tubuhnya menggigil ketakutan. Suara itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Hening. Beberapa detik terasa seperti berjam-jam. Lalu, Rina mendengar suara ketukan. Ketukan yang sangat pelan, seolah-olah jari-jari kurus mengetuk-ngetuk daun pintu. Satu ketukan, lalu dua, lalu tiga. Jantung Rina serasa mau copot. Ia menahan napas, berharap apa pun yang di luar sana akan pergi.

Ketukan itu berlanjut, semakin cepat dan semakin kuat. Bukan lagi ketukan pelan, tapi seperti seseorang yang tak sabar ingin masuk. Rina berusaha menenangkan dirinya, meyakinkan bahwa itu hanya imajinasinya. Tapi suara itu terlalu nyata. Ia bahkan merasa pintu kamarnya sedikit bergetar. Rina memejamkan mata erat-erat, merapalkan doa-doa yang ia tahu. Entah berapa lama ia bertahan dalam posisi itu, sampai akhirnya ia tertidur karena kelelahan dan ketakutan yang teramat sangat.

Pagi harinya, Rina terbangun dengan tubuh pegal dan kepala pusing. Ia memberanikan diri membuka pintu kamarnya. Tidak ada apa-apa di luar. Lantai koridor sepi dan bersih. Ia bertanya pada teman-teman kos yang tersisa, apakah ada yang mendengar suara aneh semalam. Tidak ada. Mereka semua tidur nyenyak. Sejak kejadian itu, Rina sering merasa merinding setiap kali berada di kos sendirian. Ia sering merasa ada yang mengawasinya, terutama saat malam hari. Terkadang, ia mendengar suara bisikan samar dari kamar kosong di sebelah kamarnya, padahal kamar itu sudah lama tidak ditempati. Akhirnya, Rina memutuskan untuk pindah kos setelah libur semester selesai. Ia tidak sanggup lagi tinggal di tempat yang selalu dihantui suara misterius dan perasaan tidak nyaman. Pengalaman itu benar-benar membuka matanya tentang keberadaan hal-hal yang tidak terlihat.

2. Sosok Penunggu Jembatan Tua (Kisah Adit)

Adit, seorang sopir truk ekspedisi, seringkali harus menempuh perjalanan jauh sendirian, melintasi kota-kota kecil hingga jalanan sepi antarprovinsi. Baginya, malam adalah teman sekaligus tantangan. Salah satu rute yang sering ia lewati adalah jalur Trans-Sumatera yang legendaris, dan ada satu jembatan tua di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan yang selalu memberinya perasaan tidak enak. Jembatan itu, kata orang-orang, punya 'penunggu'.

Jembatan ini sudah ada sejak zaman Belanda, terbuat dari beton tua yang mulai retak di sana-sini, dan tiang-tiangnya ditutupi lumut tebal. Di bawahnya mengalir sungai yang gelap, arusnya deras, dan pinggirannya ditumbuhi pohon-pohon besar yang rimbun. Kalau siang, jembatan itu tampak biasa saja, meski agak menyeramkan karena usianya. Tapi kalau malam, terutama saat hujan atau kabut tebal, suasananya berubah drastis. Lampu penerangan jalan di sana kadang hidup kadang mati, membuat area itu seringkali gelap gulita.

Malam itu, Adit sedang dalam perjalanan dari Palembang menuju Pekanbaru. Hujan rintik-rintik menemani perjalanannya sejak sore, dan kini menjelang tengah malam, hujan itu berubah menjadi deras. Jembatan tua itu sudah terlihat dari jauh. Seperti biasa, Adit merasakan sensasi dingin di tengkuknya. Ia menurunkan kecepatan truknya, fokus pada jalanan yang licin. Saat truknya melintas tepat di tengah jembatan, tiba-tiba ada kilatan petir yang menyambar. Dalam sekejap, jembatan itu terang benderang.

Dan di situlah Adit melihatnya.

Di ujung jembatan, berdiri sesosok wanita. Rambutnya panjang tergerai menutupi sebagian wajahnya, mengenakan gaun putih lusuh yang basah kuyup, menempel di tubuhnya. Wajahnya pucat pasi, matanya cekung, dan bibirnya sedikit terbuka. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri diam menatap lurus ke arah truk Adit. Seketika, Adit merasa seluruh darahnya mengering. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ia tahu betul, tidak ada pemukiman warga di sekitar jembatan itu. Siapa wanita yang berdiri di sana sendirian di tengah hujan deras seperti itu?

Adit mencoba memalingkan pandangannya, tetapi sosok itu seolah-olah menarik perhatiannya. Ia melirik lagi, dan kali ini, ia bersumpah, sosok itu tersenyum. Senyuman yang sangat lebar, namun hampa, tanpa ekspresi. Senyuman yang membuat bulu kuduknya berdiri. Adit mempercepat laju truknya, kakinya menginjak gas dalam-dalam. Ia ingin segera melewati jembatan itu dan menjauhi sosok menakutkan tersebut.

Saat truknya sudah melewati jembatan dan mulai menjauh, Adit melirik spion samping. Ia melihat sosok wanita itu masih berdiri di tempat yang sama, tapi kini ia merasa seolah-olah wanita itu sedang melambaikan tangan ke arahnya. Bukan lambaian perpisahan yang ramah, melainkan lambaian yang terasa mengundang, menyeramkan. Jantung Adit berdebar kencang. Ia terus memacu truknya, tidak berani melihat ke belakang lagi.

Beberapa kilometer kemudian, Adit menepi di sebuah warung kopi pinggir jalan yang buka 24 jam. Ia memesan kopi panas untuk menenangkan diri. Tangannya masih sedikit gemetar. Ia mencoba menceritakan kejadian itu pada pemilik warung, seorang bapak tua dengan kumis tebal. Bapak itu hanya mengangguk-angguk.

"Oh, itu mah udah biasa, Mas," kata bapak itu santai, sambil mengelap meja. "Penunggu jembatan itu. Banyak sopir yang ngelihat. Katanya, dia itu arwah korban kecelakaan yang meninggal di situ puluhan tahun lalu."

Adit menelan ludah. Ia tidak pernah berpikir bahwa cerita-cerita yang ia dengar tentang jembatan itu akan menjadi kenyataan. Sejak saat itu, setiap kali Adit melewati jembatan tua itu di malam hari, ia selalu membunyikan klakson panjang dan membaca doa. Ia tak ingin lagi berhadapan langsung dengan sosok wanita bergaun putih yang senyumannya menghantui. Meskipun ia seorang supir truk yang keras, pengalaman itu cukup untuk membuatnya percaya pada hal-hal tak kasat mata.

3. Penghuni Lemari Antik (Kisah Budi)

Budi baru saja pindah ke rumah peninggalan kakeknya di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah. Rumah itu sudah lama kosong, sekitar sepuluh tahun sejak kakeknya meninggal. Budi, seorang pekerja lepas yang sering bekerja dari rumah, merasa suasana desa yang tenang akan cocok untuk konsentrasinya. Rumah itu bergaya Indische, dengan langit-langit tinggi, jendela-jendela besar, dan banyak perabotan kayu jati tua. Salah satu yang paling mencolok adalah sebuah lemari pakaian antik berukuran besar di kamar tidur utama. Lemari itu terbuat dari kayu jati berwarna gelap, ukirannya rumit, dan tingginya hampir mencapai langit-langit. Awalnya Budi berencana untuk menjualnya atau memindahkannya ke gudang, tapi karena ukurannya yang terlalu besar, ia memutuskan untuk membiarkannya di sana.

Beberapa hari pertama di rumah itu berjalan lancar. Budi sibuk membersihkan, menata barang-barang, dan membiasakan diri dengan lingkungan baru. Malam-malam terasa dingin, ditemani suara jangkrik dan embusan angin.

Kejadian aneh dimulai pada malam ketiga. Budi sedang membaca buku di tempat tidur, sekitar pukul 11 malam. Tiba-tiba, ia mendengar suara gesekan dari arah lemari. Suaranya seperti kain yang bergesekan, atau mungkin sesuatu yang bergerak di dalamnya. Budi berpikir itu mungkin tikus atau serangga, jadi ia mengabaikannya. Tapi suara itu terus berlanjut, kadang pelan, kadang sedikit lebih keras. Ia bangkit dari tempat tidur, mendekati lemari, dan mengetuk-ngetuk pintunya. Suara itu langsung berhenti. Budi mengangkat bahu, mengira itu hanya perasaannya saja.

Malam berikutnya, suara itu muncul lagi. Kali ini lebih jelas. Bukan hanya gesekan, tapi seperti suara orang yang sedang mengambil napas, berat dan teratur, seolah-olah ada seseorang di dalam lemari itu. Budi mulai merasa tidak nyaman. Ia mencoba membuka pintu lemari, tapi terkunci dari dalam. Padahal ia yakin tidak pernah menguncinya. Ia mencoba mendorongnya, tapi pintu itu kokoh, tidak bergerak sedikit pun. Budi mulai panik. Ia membiarkan saja pintu lemari itu, lalu kembali ke tempat tidur, tubuhnya merinding.

Beberapa malam berikutnya, kejadian itu semakin intens. Suara-suara dari dalam lemari semakin beragam. Kadang terdengar seperti bisikan samar, kadang seperti tawa cekikikan yang pelan, dan yang paling mengerikan adalah suara seperti anak kecil yang sedang merangkak di dalam. Budi mencoba mencari tahu sejarah lemari itu, bertanya pada tetangga-tetangganya. Salah satu tetangga tua bercerita bahwa lemari itu dulunya milik seorang nyonya Belanda yang meninggal secara misterius di rumah itu puluhan tahun lalu. Konon, ia sering menyimpan barang-barang kesayangannya, termasuk pakaian dan perhiasan, di dalam lemari itu. Ada yang bilang, arwahnya masih betah di sana.

Suatu malam, Budi terbangun karena suara isak tangis dari dalam lemari. Isak tangis itu terdengar sangat sedih dan pilu, seperti seorang anak kecil yang kehilangan sesuatu. Budi yang sudah tidak tahan dengan gangguan ini, memutuskan untuk menghadapi apa pun yang ada di dalam lemari itu. Ia mencoba mencari kunci, tapi tidak ketemu. Akhirnya, dengan sekuat tenaga, ia mencoba mendobrak pintu lemari. Setelah beberapa kali percobaan, pintu itu akhirnya terbuka dengan suara berderit keras.

Apa yang dilihat Budi di dalam lemari membuatnya terkesiap. Tidak ada apa-apa. Lemari itu kosong melompong. Tidak ada pakaian, tidak ada barang, bahkan debu pun sedikit. Padahal, ia ingat betul saat pertama kali datang, lemari itu dipenuhi tumpukan kain tua dan beberapa barang antik. Budi bingung. Ia memeriksa setiap sudut lemari, tapi memang benar-benar kosong. Ia merasa lega sekaligus merinding. Lega karena tidak ada sosok menyeramkan di dalamnya, tapi merinding karena tidak tahu apa yang membuat suara-suara itu selama ini.

Setelah kejadian itu, suara-suara dari lemari memang tidak terdengar lagi. Namun, Budi seringkali mencium bau bunga melati yang sangat kuat di kamarnya, terutama saat malam hari. Bau itu datang dan pergi secara tiba-tiba. Kadang ia juga melihat bayangan sekilas di sudut matanya, seolah-olah ada yang melintas cepat. Budi akhirnya memutuskan untuk membungkus lemari itu dengan kain putih dan tidak pernah lagi mendekatinya. Ia tahu, ada sesuatu yang tak terlihat yang masih bersemayam di sana, entah itu arwah sang nyonya Belanda atau entitas lain yang entah apa. Yang jelas, ia tidak ingin lagi berinteraksi dengan penghuni lemari antik itu.

4. Gangguan di Rumah Sakit Angker (Kisah Clara)

Clara adalah seorang perawat muda yang baru saja ditempatkan di sebuah rumah sakit tua di pinggiran kota. Rumah sakit itu dulunya adalah peninggalan zaman kolonial Belanda, bangunannya besar dengan lorong-lorong panjang, langit-langit tinggi, dan jendela-jendela kayu yang menjulang. Meskipun sudah direnovasi berkali-kali, aura tua dan angker masih terasa kuat di beberapa bagian, terutama di bangsal C, bangsal lama yang jarang terisi pasien dan sering digunakan untuk pasien dengan kondisi kritis atau terminal. Para perawat senior sering menceritakan kisah-kisah seram tentang bangsal itu, tapi Clara yang rasional tidak terlalu mempedulikannya.

Shift malam di rumah sakit selalu terasa berbeda. Suasana hening, hanya ada suara langkah kaki perawat yang berpatroli, suara mesin medis yang berbunyi teratur, dan sesekali rintihan pasien. Clara sering mendapatkan shift malam di bangsal C, karena ia adalah perawat junior yang paling baru. Malam itu, ia bertugas sendirian di bangsal tersebut, mengawasi beberapa pasien yang mayoritas tidur pulas.

Sekitar pukul 2 dini hari, Clara sedang duduk di meja perawat, menulis laporan. Tiba-tiba, ia mendengar suara roda troli yang didorong di lorong bangsal. Suara itu semakin mendekat, lalu berhenti tepat di depan pintu bangsal C. Clara mengangkat kepalanya, berpikir itu mungkin perawat dari bangsal lain yang sedang lewat. Tapi anehnya, tidak ada yang masuk. Ia menunggu beberapa saat, tapi suara itu tidak berlanjut. Clara sedikit curiga, karena di jam segini jarang ada perawat yang mendorong troli di lorong.

Ia bangkit dari tempat duduknya dan mengintip keluar. Lorong itu gelap dan sepi. Tidak ada troli, tidak ada siapa-siapa. Clara mengerutkan kening. Apakah ia salah dengar? Ia kembali ke mejanya, mencoba fokus pada laporan.

Tidak lama kemudian, ia mendengar suara bel panggilan pasien dari salah satu kamar di bangsal itu. Bel kamar nomor 13. Clara segera bergegas menuju kamar tersebut. Kamar nomor 13 adalah kamar paling pojok, biasanya diisi oleh pasien yang sedang koma atau tidak sadarkan diri. Saat ia membuka pintu, kamar itu gelap gulita. Pasien yang terbaring di sana, seorang kakek tua, terlihat tenang dan tidak bergerak. Tidak ada tanda-tanda ia membutuhkan bantuan. Clara melihat ke arah tombol bel di samping tempat tidur. Lampu indikatornya mati. Lalu siapa yang memencet bel?

Clara mulai merasa merinding. Ia mematikan lampu kamar, memastikan pasien baik-baik saja, lalu kembali ke meja perawat. Namun, tak lama setelah ia duduk, bel kamar nomor 13 berbunyi lagi. Kali ini lebih keras dan berulang-ulang. Clara panik. Ia bergegas kembali ke kamar itu, dan saat ia membuka pintu, ia melihat lampu indikator bel menyala terang. Jantungnya berdebar kencang. Ia mengecek kondisi kakek pasien, memastikan tidak ada masalah. Tapi kakek itu masih terlelap. Clara memutuskan untuk mencabut bel panggilan itu, merasa ada yang tidak beres.

Beberapa menit kemudian, saat ia sedang berjalan di lorong, Clara mendengar suara berbisik dari belakangnya. Bisikan itu memanggil namanya, "Clara... Clara..." Suara itu terdengar sangat pelan, namun jelas. Clara berbalik badan, tapi tidak ada siapa-siapa. Lorong itu sepi, hanya lampu remang-remang yang menerangi. Clara mempercepat langkahnya, ingin segera sampai di meja perawat.

Saat ia tiba di meja, ia melihat sesuatu yang membuatnya nyaris berteriak. Laporan yang tadi ia tulis, yang sudah hampir selesai, kini berserakan di lantai. Beberapa lembar kertasnya terlipat dan disobek. Spidolnya tergeletak di lantai, dan buku catatannya terbuka di halaman kosong. Clara yakin ia tidak meninggalkan mejanya berantakan seperti ini. Ia merasa ada sesuatu yang bermain-main dengannya.

Malam itu, Clara tidak bisa tidur. Ia terus berjaga, matanya melirik ke setiap sudut bangsal. Ia bersumpah mendengar suara langkah kaki di lorong, suara pintu yang terbuka dan tertutup sendiri, bahkan ia merasa ada yang menyentuh pundaknya saat ia sedang membelakangi. Pagi harinya, ia langsung menceritakan semua yang terjadi pada perawat senior. Perawat senior itu hanya tersenyum maklum.

"Sudah biasa itu, Clara," katanya. "Bangsal C memang sering begitu. Katanya, ada arwah perawat yang meninggal di sini dulu, dan juga arwah pasien-pasien yang meninggal. Mereka suka iseng. Asal kamu tidak mengganggu mereka, mereka juga tidak akan macam-macam."

Clara tidak tahu harus percaya atau tidak. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak pernah lagi berani berada di bangsal C sendirian di malam hari. Setiap kali ia mendapatkan shift di sana, ia selalu mengajak perawat lain untuk menemaninya. Pengalaman itu benar-benar menguji keberanian dan keyakinannya tentang hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara logis.

5. Bayangan di Cermin Tua (Kisah Dino)

Dino, seorang kolektor barang antik, selalu punya ketertarikan pada benda-benda lawas yang menyimpan cerita. Suatu hari, ia membeli sebuah cermin dinding besar dengan bingkai ukiran rumit dari sebuah rumah lelang. Cermin itu terlihat sangat tua, kacanya sedikit buram, dan bingkainya mulai keropos di beberapa bagian. Dino berencana untuk merestorasinya dan memajangnya di ruang tamunya. Cermin itu memiliki aura misterius, yang entah kenapa, menarik perhatiannya.

Setibanya di rumah, Dino meletakkan cermin itu di salah satu sudut ruang tamu yang sedikit gelap. Ia membersihkan debu-debu yang menempel dan mengagumi ukiran pada bingkainya. Ia merasa cermin itu punya daya tarik tersendiri.

Keanehan dimulai pada malam pertama cermin itu berada di rumah Dino. Saat Dino sedang membaca di sofa, ia melihat bayangan sekilas di cermin. Bayangan itu seperti sosok yang sedang berdiri di belakangnya. Dino reflek menoleh ke belakang, tapi tidak ada siapa-siapa. Ia berpikir itu hanya pantulan dari lampu atau mungkin hanya imajinasinya.

Malam-malam berikutnya, kejadian serupa terus terulang. Dino semakin sering melihat bayangan di cermin. Kadang bayangan seorang wanita dengan rambut panjang, kadang bayangan seorang pria tua, dan kadang hanya sekilas bayangan hitam yang melintas cepat. Bayangan-bayangan itu selalu muncul di sudut mata, seolah-olah mereka tidak ingin terlihat langsung. Dino mulai merasa tidak nyaman. Ia mencoba menutup cermin dengan kain, tapi ia tetap merasa ada yang mengawasinya.

Suatu malam, Dino sedang mengerjakan tugas di ruang tamu hingga larut. Ia merasa lelah, lalu memutuskan untuk beristirahat sebentar. Saat ia menoleh ke arah cermin, ia melihat sesuatu yang membuatnya ketakutan setengah mati.

Di dalam cermin, bukan pantulan ruang tamunya yang biasa, melainkan sebuah pemandangan yang berbeda. Pemandangan sebuah ruangan tua dengan perabotan kuno, dan di tengah ruangan itu, duduk sesosok wanita dengan gaun putih lusuh, rambutnya panjang menutupi wajahnya. Wanita itu tidak bergerak, hanya duduk diam. Dino terkesiap. Ia menggosok matanya, berpikir ia berhalusinasi. Namun, saat ia membuka matanya lagi, pemandangan itu masih ada. Wanita itu masih di sana, duduk diam. Jantung Dino berdebar kencang. Ia mencoba menatap lebih dekat, dan kali ini, ia melihat sesuatu yang lebih menyeramkan. Wanita itu perlahan mengangkat kepalanya.

Saat wanita itu mengangkat kepalanya, Dino melihat wajahnya. Wajahnya pucat pasi, matanya hitam cekung tanpa bola mata, dan bibirnya sedikit terbuka menunjukkan gigi-gigi yang runcing. Wajah itu menatap lurus ke arah Dino, tanpa ekspresi. Dino merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Ia tidak bisa bergerak, tubuhnya seperti terpaku di tempat. Wanita itu tidak melakukan apa-apa, hanya terus menatapnya. Tatapan itu terasa sangat dingin dan menusuk.

Akhirnya, Dino berhasil mengumpulkan keberaniannya dan memalingkan muka. Saat ia berbalik lagi ke arah cermin, pemandangan itu sudah hilang. Yang ada hanyalah pantulan ruang tamunya yang biasa, kosong dan sepi. Dino langsung menyelimuti cermin itu dengan kain hitam tebal. Ia tidak berani lagi melihat ke dalamnya.

Keesokan harinya, Dino mencari informasi tentang cermin itu. Ia bertanya pada beberapa teman kolektornya, apakah ada yang pernah mengalami hal aneh dengan cermin antik. Salah seorang temannya, seorang ahli benda antik, mengatakan bahwa cermin itu mungkin memiliki 'penghuni'. Konon, benda-benda tua seringkali menjadi tempat bersemayamnya arwah atau entitas lain, terutama jika benda itu memiliki sejarah kelam atau pernah menjadi saksi bisu kejadian tragis. Temannya menyarankan agar Dino tidak menyimpan cermin itu di dalam rumah.

Dino akhirnya memutuskan untuk menjual cermin itu. Ia tidak peduli berapa pun harganya, ia hanya ingin menyingkirkan benda menakutkan itu dari rumahnya. Setelah cermin itu terjual, Dino tidak pernah lagi mengalami kejadian aneh. Namun, ia selalu teringat akan wajah wanita tanpa mata yang menatapnya dari dalam cermin. Pengalaman itu memberinya pelajaran berharga tentang bahaya mengoleksi barang-barang antik tanpa mengetahui sejarahnya.

6. Permainan di Tengah Malam (Kisah Edo)

Edo, seorang mahasiswa semester akhir, sedang libur kuliah dan menghabiskan waktunya di rumah orang tuanya di sebuah kota kecil. Kebetulan, ia sedang sendirian di rumah karena orang tuanya sedang bepergian ke luar kota. Rumah itu adalah rumah lama yang sudah ditempati keluarga Edo selama puluhan tahun, letaknya di kompleks perumahan yang cukup sepi. Edo yang biasa ramai dengan teman-teman kampusnya, merasa sedikit bosan di rumah yang sepi itu.

Malam itu, Edo sedang asyik bermain game online di kamarnya, sekitar pukul 1 dini hari. Ia memakai headset, jadi ia tidak terlalu mendengar suara-suara di luar. Tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan dari arah pintu kamarnya. Ketukannya sangat pelan, seperti jari-jari yang mengetuk-ngetuk. Edo berpikir itu mungkin kucing atau tikus. Ia mencoba mengabaikannya, fokus pada permainannya.

Namun, ketukan itu tidak berhenti. Kali ini lebih jelas, dan terdengar seperti ketukan manusia. Edo melepas headset-nya. "Siapa di luar?" panggilnya. Tidak ada jawaban. Ia menunggu beberapa saat, lalu ketukan itu muncul lagi. "Papa? Mama?" Edo tahu orang tuanya belum pulang. Jadi siapa?

Ketukan itu berlanjut, kali ini diikuti dengan suara cekikikan pelan, seperti tawa anak kecil. Jantung Edo mulai berdebar. Ia bangkit dari tempat tidur, mendekati pintu kamarnya, lalu menempelkan telinganya ke daun pintu. Suara cekikikan itu terdengar sangat dekat, seolah-olah ada seseorang yang berdiri persis di balik pintu. Edo memutuskan untuk tidak membuka pintu. Ia kembali ke tempat tidur, tubuhnya merinding.

Tidak lama kemudian, ia mendengar suara benda jatuh dari dapur. Suaranya cukup keras, seperti piring atau gelas yang pecah. Edo panik. Ia berhati-hati melangkah keluar kamar, lalu berjalan pelan-pelan menuju dapur. Lampu dapur sudah menyala, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Tidak ada piring pecah, tidak ada gelas yang jatuh. Semua perabotan tertata rapi. Edo bingung. Ia mematikan lampu dapur, lalu kembali ke kamarnya.

Saat ia memasuki kamarnya, ia melihat sebuah mainan robot miliknya, yang biasanya ia letakkan di rak buku, kini tergeletak di lantai. Robot itu menyala, dan mengeluarkan suara-suara aneh seperti robot yang sedang berbicara. Padahal, ia yakin sudah mematikan robot itu dan meletakkannya di rak buku. Edo langsung mematikan robot itu dan meletakkannya kembali ke rak buku. Ia merasa ada sesuatu yang bermain-main dengannya.

Malam-malam berikutnya, kejadian aneh terus terjadi. Lampu di rumah sering mati sendiri, padahal tidak ada masalah dengan listrik. Suara-suara benda jatuh di dapur sering terdengar. Kadang ia mendengar suara langkah kaki yang mondar-mandir di ruang tamu, padahal tidak ada siapa-siapa di sana. Puncaknya, suatu malam, Edo terbangun karena suara musik dari ruang tamu. Musik itu seperti lagu anak-anak, dimainkan dari sebuah kotak musik antik milik adiknya. Kotak musik itu sudah lama rusak dan tidak bisa menyala. Edo terkejut. Ia turun ke ruang tamu, dan melihat kotak musik itu menyala, mengeluarkan melodi yang menyeramkan di tengah kegelapan.

Edo tidak tahan lagi. Ia memutuskan untuk menghubungi kerabatnya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya, seorang bibi yang dikenal memiliki indra keenam. Bibi Edo datang ke rumah dan merasakan adanya kehadiran lain di sana. Bibi Edo melakukan ritual kecil dan mendoakan rumah itu. Menurut bibi, ada arwah anak kecil yang meninggal di sekitar rumah itu puluhan tahun lalu, dan ia senang bermain-main. Ia tidak bermaksud jahat, hanya ingin bermain.

Setelah ritual itu, gangguan-gangguan di rumah Edo perlahan-lahan berkurang. Edo tidak lagi mendengar suara ketukan, suara benda jatuh, atau suara musik dari kotak musik. Namun, ia kadang masih mencium bau permen atau bau bayi yang samar-samar di beberapa sudut rumah. Edo sadar, meskipun arwah anak itu tidak bermaksud jahat, keberadaannya tetap membuatnya merinding. Pengalaman itu mengubah pandangannya tentang keberadaan makhluk halus, yang ternyata bisa hadir di mana saja, bahkan di rumah sendiri.

7. Terjebak di Apartemen Misterius (Kisah Farel)

Farel, seorang fotografer lepas, seringkali mendapatkan proyek di berbagai tempat, termasuk apartemen-apartemen yang sudah lama tidak dihuni atau yang akan segera direnovasi. Kali ini, ia mendapatkan tugas untuk memotret sebuah apartemen di lantai 13 sebuah gedung tua di pusat kota. Apartemen itu sudah kosong selama bertahun-tahun, kabarnya pemilik sebelumnya meninggal dunia secara tragis di sana. Farel tidak terlalu mempedulikan cerita-cerita itu, ia hanya fokus pada pekerjaannya.

Apartemen itu terasa sangat dingin, bahkan di siang hari. Jendela-jendela tertutup rapat, dan udara di dalamnya pengap. Debu tebal menyelimuti setiap perabotan, dan beberapa bagian dindingnya sudah mulai berjamur. Farel mulai memotret dari ruang tamu, lalu bergerak ke kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Ia merasa ada aura aneh di apartemen itu, tapi ia berusaha mengabaikannya.

Saat ia sedang memotret di kamar tidur utama, ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, lebih dingin dari biasanya. Ia melihat ke arah cermin rias yang ada di sudut ruangan. Cermin itu kusam, pantulannya tidak jelas. Farel mencoba membersihkannya dengan tangannya, tapi kusam itu tidak hilang. Ia merasa seperti ada yang mengawasinya dari dalam cermin.

Ia melanjutkan pekerjaannya. Saat ia hendak memotret bagian kamar mandi, tiba-tiba pintu apartemen utama tertutup sendiri dengan suara braaakkk yang sangat keras. Farel terkejut. Ia yakin ia tidak mengunci pintu itu. Ia mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci dari dalam. Ia mencoba memutar kenop, tapi kenop itu tidak bergerak. Farel mulai panik. Ia mencoba berteriak, memanggil bantuan, tapi tidak ada suara yang menyahut. Sepertinya tidak ada orang lain di lantai itu.

Farel mencoba mencari cara lain untuk keluar. Ia mencoba membuka jendela, tapi jendela itu terkunci rapat dan sangat sulit dibuka. Ia mencoba menelepon teman atau kantornya, tapi tidak ada sinyal. Ia merasa terjebak di dalam apartemen itu.

Beberapa menit kemudian, ia mendengar suara air menetes dari kamar mandi. Suaranya terdengar sangat teratur, seperti air keran yang lupa dimatikan. Farel yang merasa takut, memberanikan diri mendekati kamar mandi. Saat ia mengintip ke dalam, ia melihat keran wastafel terbuka, dan air menetes pelan ke dalam bak cuci. Padahal, ia yakin sudah mematikan semua keran sebelum mulai memotret.

Farel menutup keran itu, lalu bergegas keluar dari kamar mandi. Ia merasa ada yang mempermainkannya. Saat ia kembali ke ruang tamu, ia melihat sesuatu yang membuatnya nyaris pingsan. Di atas meja kopi, ada sebuah buku foto lama yang terbuka. Buku itu berisi foto-foto sebuah keluarga yang sedang bahagia, tapi di salah satu foto, ia melihat wajah yang tidak asing. Wajah seorang wanita yang pucat, dengan mata kosong, menatap lurus ke arahnya. Wajah itu sama persis dengan wajah yang ia lihat sekilas di cermin rias tadi. Jantung Farel berdebar kencang. Ia tahu, wanita itu adalah pemilik apartemen yang meninggal secara tragis.

Tiba-tiba, lampu di apartemen itu berkedip-kedip, lalu padam. Seluruh ruangan menjadi gelap gulita. Farel merasakan hawa dingin yang semakin menusuk, seolah-olah ada kehadiran lain yang sangat dekat dengannya. Ia mendengar suara bisikan samar dari sudut ruangan, seperti orang yang sedang berbisik-bisik. Farel memejamkan mata erat-erat, merapalkan doa-doa yang ia tahu.

Beberapa waktu kemudian, ia mendengar suara pintu apartemen terbuka. Cahaya dari lorong masuk ke dalam ruangan. Farel membuka matanya, dan melihat seorang petugas keamanan berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan heran. Petugas itu mengatakan ia mendengar teriakan Farel dan menemukan pintu apartemen terkunci. Ia juga mengatakan bahwa ia sudah lama tidak melihat lampu di apartemen itu menyala.

Farel tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia langsung mengemasi peralatannya dan buru-buru meninggalkan apartemen itu. Ia tidak peduli jika proyeknya tidak selesai. Ia tidak ingin lagi berada di tempat itu. Setelah kejadian itu, Farel tidak pernah lagi mengambil proyek pemotretan di apartemen-apartemen kosong. Ia selalu teringat bagaimana ia terjebak di sana, dan bagaimana ia berhadapan langsung dengan "penghuni" apartemen misterius itu.

Tags:

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Check Out
Ok, Go it!