Senandung Hujan di Jantung Renata
Hujan selalu punya cara sendiri untuk bicara pada Renata. Bukan sekadar rintik, tapi bisikan melodi yang seringkali jadi latar belakang drama percintaannya yang, yah, begitulah. Usianya baru 22, tapi daftar patah hatinya sudah bisa jadi novel tersendiri. Kali ini, hujan deras di kota Purbalingga seolah ikut menertawakan kegalauannya. Mantan terakhir, Bram, baru saja mengumumkan pertunangannya di Instagram. Lengkap dengan caption romantis dan cincin berlian yang bikin mata Renata perih.
“Ren, jangan bengong mulu, nanti kesambet lho!” Suara Lila, sahabat karibnya sejak SD, membuyarkan lamunannya. Lila mencomot satu potong pisang goreng yang baru matang. “Dia bukan yang terbaik buatmu, percaya deh.”
Renata menghela napas. “Gimana mau percaya, Li? Setiap kali aku merasa ini dia, eh, ternyata bukan.”
Lila hanya senyum tipis. “Mungkin kamu belum ketemu yang pas. Yang bener-bener ‘rumah’.”
Kata-kata Lila itu terngiang-ngiang di benak Renata. Rumah. Seperti apa rasanya menemukan rumah dalam diri seseorang? Selama ini, hubungannya selalu terasa seperti persinggahan. Indah sesaat, tapi tak pernah benar-benar menetap.
Seminggu setelah insiden Bram, Renata memutuskan untuk menyibukkan diri. Kafe tempatnya bekerja paruh waktu, “Kopi & Kisah,” jadi pelariannya. Di sanalah, di antara aroma kopi yang pekat dan tawa pengunjung, takdir sepertinya sedang memainkan peran lucu.
Suatu sore, seorang pria masuk. Rambutnya agak gondrong, kacamata bertengger di hidungnya, dan senyumnya... ah, senyumnya itu lho, langsung bikin jantung Renata berdegup aneh. Dia membawa buku tebal dan laptop, tampak seperti penulis atau seniman yang sedang mencari inspirasi.
“Kopi hitam tanpa gula, Kak,” pesannya dengan suara berat yang menenangkan.
Renata mengangguk, sedikit canggung. Sejak kapan dia jadi gugup di depan pelanggan? Biasanya, dia paling jago urusan basa-basi.
Pria itu memilih meja di sudut, dekat jendela, dan mulai menulis. Renata sesekali melirik. Ada sesuatu yang misterius namun memikat dari dirinya. Hingga beberapa hari berikutnya, pria itu selalu datang. Rutinitasnya sama: kopi hitam, buku tebal, dan laptop.
Akhirnya, keberanian Renata muncul. “Suka menulis ya, Kak?” tanyanya suatu sore, saat dia mengantarkan pesanan kopi.
Pria itu tersenyum. “Iya. Kebetulan lagi nyari ide. Kamu sendiri, sering baca buku?”
“Lumayan,” jawab Renata. “Nama saya Renata.”
“Arjun,” jawab pria itu sambil menjulurkan tangan. Jabatannya hangat. “Senang ketemu kamu, Renata.”
Sejak hari itu, percakapan mereka mengalir begitu saja. Renata tahu Arjun adalah seorang arsitek yang sedang cuti panjang untuk menulis novel. Dia suka petualangan, senja, dan, tentu saja, kopi. Renata, di sisi lain, bercerita tentang mimpinya membuka toko bunga kecil, hobinya melukis, dan... sedikit tentang kisah cintanya yang berliku. Arjun mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi, justru kadang melempar lelucon yang membuat Renata tertawa lepas.
Hubungan mereka berkembang dengan cepat. Obrolan di kafe berlanjut ke taman kota, lalu ke pegunungan, menikmati senja di atas bukit, hingga akhirnya ke pantai selatan, mengejar matahari terbit. Setiap momen bersama Arjun terasa seperti melodi yang indah. Tidak ada drama berlebihan, tidak ada janji kosong. Semuanya terasa nyata, tulus.
“Rasanya, aku nggak pernah sebahagia ini, Jun,” kata Renata suatu malam, saat mereka duduk di bawah bintang-bintang di sebuah bukit.
Arjun menggenggam tangannya. “Aku juga, Ren. Kamu itu seperti hujan di musim kemarau. Bikin semuanya hidup lagi.”
Hujan. Kata itu selalu punya makna khusus bagi Renata. Dan kini, Arjun menyebutnya.
Namun, kisah romantis mana yang tak punya ujian? Suatu sore, saat Renata sedang menyiram bunga di tokonya yang baru, sebuah mobil mewah berhenti di depan. Keluar dari sana seorang wanita cantik, berkelas, dan matanya penuh kekecewaan.
“Renata?” sapanya dingin. “Saya Amanda, tunangan Arjun.”
Jantung Renata serasa berhenti. Dunianya runtuh seketika. Tunangan? Arjun tidak pernah menceritakan ini! Air mata langsung menggenang.
Amanda melanjutkan, “Saya tahu Arjun sering menghabiskan waktu denganmu. Tapi kami akan menikah bulan depan.” Dia menunjukkan sebuah cincin berlian yang berkilauan di jarinya, jauh lebih besar dari cincin Bram.
Renata tidak bisa berkata apa-apa. Tubuhnya lemas. Jadi, ini drama lainnya? Drama yang lebih menyakitkan dari yang sebelumnya?
Malam itu, Renata menghubungi Arjun, tapi tidak diangkat. Dia mengirim pesan, juga tidak dibalas. Hujan kembali turun, deras sekali, seolah ikut meratapi kebodohan Renata yang lagi-lagi jatuh ke lubang yang sama.
Esoknya, Arjun datang ke Kopi & Kisah. Wajahnya terlihat kusut, matanya sembab.
“Ren, aku bisa jelasin,” ucapnya begitu melihat Renata.
Renata menggeleng. “Nggak perlu. Aku udah denger semuanya.” Suaranya bergetar. “Kenapa, Jun? Kenapa kamu nggak pernah cerita?”
Arjun menarik napas dalam. “Amanda itu mantan tunanganku, Ren. Kami putus setahun yang lalu, bahkan sebelum aku pindah ke sini. Tapi keluargaku dan keluarganya masih berharap kami balikan. Mereka terus mendesak, dan aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku datang ke Purbalingga untuk menenangkan diri dan mencari inspirasi, sekaligus mencoba lepas dari semua itu.”
Renata diam. Ada rasa sakit, tapi juga kebingungan.
“Aku tahu ini pengecut, Ren. Aku minta maaf. Tapi percayalah, saat aku ketemu kamu, semuanya terasa beda. Kamu membuatku sadar kalau aku nggak bisa terus-terusan hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Aku udah bilang ke Amanda kalau aku nggak bisa menikah dengannya. Aku ingin bersamamu, Renata.”
Renata menatap mata Arjun. Ada kejujuran di sana, juga rasa bersalah yang mendalam. Tapi trauma masa lalu masih menghantuinya. Dia pernah terlalu mudah percaya.
“Aku butuh waktu, Jun,” kata Renata lirih. “Aku... aku nggak tahu.”
Arjun mengangguk. “Aku akan nunggu, Ren. Sampai kapan pun. Aku akan buktiin kalau kali ini, aku serius. Kamu adalah rumahku, Renata.”
Berbulan-bulan berlalu. Arjun tetap berjuang. Dia sering datang ke toko bunga Renata, membantu merangkai, mengantarkan pesanan, atau sekadar menemaninya bercerita. Dia selalu ada, menunjukkan keseriusannya, tanpa memaksa. Dia bahkan membawa keluarganya dari Jakarta untuk menemui keluarga Renata, menjelaskan semuanya, dan meminta restu. Drama Amanda ternyata hanyalah salah paham yang dipicu oleh obsesi Amanda untuk kembali bersama Arjun.
Perlahan, hati Renata yang beku mulai mencair. Dia melihat kesungguhan di mata Arjun, bukan lagi bayangan masa lalu yang pahit. Dia belajar bahwa cinta itu bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang menerima kekurangan, berjuang bersama, dan saling percaya.
Suatu sore, saat hujan kembali turun membasahi Purbalingga, Arjun berlutut di depan Renata, di tengah toko bunga yang harum.
“Renata, aku tahu aku pernah bikin kamu ragu. Tapi tolong, kasih aku kesempatan. Maukah kamu jadi rumahku, selamanya?”
Renata tersenyum, air mata haru menetes. Kali ini, air matanya bukan air mata kesedihan, tapi kebahagiaan. “Iya, Arjun. Aku mau.”
Arjun memeluknya erat. Di luar, rintik hujan seolah ikut menari, menjadi senandung kebahagiaan yang mengiringi awal kisah baru mereka. Renata akhirnya menemukan rumahnya, bukan di tempat, tapi di hati seorang Arjun, di tengah melodi hujan yang selalu jadi saksi bisu perjalanan cintanya. Dan kali ini, melodi itu adalah simfoni terindah.